Lebaran: Hal-hal yang Membuat Saya Kangen Dengannya


Pada paruh akhir bulan puasa, saya sering tertegun, entah karena iri atau mungkin tak mengerti, jika mendengar pembicaraan kawan-kawan yang mulai merencanakan mudik. Saya memang tak pernah merasakan pengalaman semacam mudik, lengkap dengan berbagai persoalannya.

Saya memang sempat mondok di daerah Gresik, Jawa Timur, ketika SD. Tapi meski waktu kepulangan saya kira-kira berbarengan dengan tren mudik pada umumnya, tapi jalur yang saya lalui tentu sangat lengang, karena melawan arah arus mudik. Sedangkan saat ini tempat tinggal saya, Ciputat, terlalu dekat jaraknya dengan kampung halaman saya, yakni Bekasi. Sudah begitu jarak keduanya juga bukan jalur yang termasuk padat ketika periode mudik datang. Dengan begitu saya tak pernah mengalami persoalan-persoalan seperti berjubel untuk memerebutkan tempat duduk di angkutan umum, kesulitan-kesulitan saat pulang kampung dan lain sebagainya.

Namun bukan berarti dengan begitu saya tak memiliki hal-hal yang pantas dikenang saban kali lebaran datang atau ketika saya membicarakan hari raya ini. Barangkali hal-hal yang saya rindukan pada tiap lebaran tidak seberharga orang lain pada umumnya, tapi tetap saja tiap kali lebaran datang saya bersikeras untuk merasakan hal-hal tersebut. Beberapa hal tersebut saya urut di bawah secara terbalik:

4. Bertemu keponakan-keponakan yang masih kecil

Bermain-main dengan anak-anak kecil memang selalu menyenangkan. Mereka selalu ribut dan membuat lelah, tapi mereka adalah para penghibur sejati yang membuat saya merasa berhak untuk melupakan berbagai persoalan kehidupan barang sejenak. Saya tak mungkir jika sering cerewet ketika melihat para keponakan saya melakukan hal-hal tidak berguna, seperti menonton sinetron atau berbuat kasar terhadap teman-teman sebayanya, tapi di luar itu saya selalu menyempatkan untuk berbagi tawa dan kebahagiaan dengan mereka.

3. Bertemu teman-teman lama

Saya termasuk orang yang senang berkawan, karenanya saya selalu menyempatkan diri bertemu teman-teman lama di kampung halaman. Saya juga senang tertawa, karenanya saya tak merasa percuma menghabiskan satu atau dua malam suntuk hanya untuk membicarakan hal-hal tak berguna yang tujuannya tiada lain hanya untuk mengundang tawa. Meski kadang-kadang direpotkan oleh hal-hal seperti kehabisan rokok pada saat warung-warung tengah tutup, ada yang merasa jengkel karena terus-menerus jadi bahan olok-olok atau karena dikentuti, tapi pertemuan kami selalu sukses berlangsung sampai pagi hari.

Meski begitu saya menganggap hal ini tak mungkin untuk dilakukan secara rutin dalam waktu singkat. Cukup satu atau dua kali setahun. Bagaimanapun persoalan-persoalan yang kami hadapi berbeda, dan jarangnya pertemuan membuat kami kesulitan untuk saling mengerti persoalan masing-masing. Satu sampai dua pertemuan akan membuat kami sama-sama sibuk dengan nostalgia, tapi sesudah itu kami kan kembali menjadi pribadi-pribadi yang mesti menghadapi persoalannya masing-masing.

2. Perasaan kehilangan menjelang lebaran

Beberapa kawan saya di Ciputat telah mengenal saya sejak sekitar delapan tahun lalu, namun hingga kini masih ada saja yang kesulitan untuk mengerti, mengapa saya selalu memilih untuk pulang di hari-hari akhir bulan puasa.

Ramadan selalu menjadi bulan yang semarak di Ciputat. Para penderita insomnia seperti saya tak akan kesulitan menemukan lapak untuk menghabiskan waktu, paling tidak hingga saat sahur, di kota ini. Dengan kemeriahan seperti ini, periode akhir bulan ini akan selalu hadir bersamaan dengan perasaan ganjil buat saya.

Dengan memilih pulang di hari-hari akhir bulan puasa, saya akan merasakan ketika satu-persatu kawan saya mudik ke kampung halamannya masing-masing. Entah mengapa, namun bagi saya pengalaman ini terasa menyedihkan sekaligus adiktif. Bayangkan, ketika sebagian besar, bahkan semua, orang yang menemani kita setiap hari telah tiada, maka satu-satunya yang setia di samping kita hanyalah rasa sepi. Karenanya, di hari-hari akhir bulan puasa saya sering berpikir “barangkali semacam ini rasanya ditinggalkan oleh -orang-orang yang berarti bagi kita”.

1. Jengkol goreng

Percaya atau tidak, inilah hal yang paling saya cari ketika lebaran tiba. Saya tak pernah bisa menolak godaan makanan satu ini, bahkan jika sekadar menghirup aroma matangnya

Memang sebagian besar orang mengidentikkan lebaran dengan ketupat. Di kampung saya hal tersebut ditambah dengan semur daging. Namun saya tak menganggap keduanya sebagai makanan yang menarik. Saya lebih memilih nasi ketimbang ketupat. Sementara semur daging hanya akan membuat gigi saya sakit karena meninggalkan sisa-sisa di gigi, dan sulit dibersihkan secara langsung dengan menyikat atau berkumur.

Sebagaimana dodol, saya belum pernah menemukan masyarakat lain mengolah jengkol sebaik di kampung saya. Memang di Ciputat saya dengan mudah menemukan warung makan yang menyediakan masakan jengkol, tapi entah kenapa saya belum pernah bertemu penyedia jengkol yang digoreng dengan bumbu semacam sambal yang sedap.

Untuk hal ini saya sudah mendapatkan jaminan ketersediaan. Yang pertama dari enya (ibu: Betawi) saya yang akan menyediakannya sehari setelah saya memintanya, dan yang kedua di rumah empo (kakak perempuan: Betawi) tertua saya yang selalu menjadwalkan menu jengkol goreng di hari pertama lebaran. Kalau sudah bertemu menu satu ini, maka saya menyiapkan perut saya untuk paling tidak makan lima kali dalam sehari.

(pernah dipublikasi di Facebook pada September 2009)

Related Posts by Categories



Widget by Hoctro | Jack Book

Tidak ada komentar:

Posting Komentar