No Country for Old Men: Puisi Buram untuk Hari Tua


Apakah puisi? Dalam bentuk idealnya, puisi adalah rentetan kata yang menghasilkan imaji tentang fragmen tertentu. Jika satu kata saja dikurang atau ditambahi, maka puisi itu akan lain artinya. Lalu seperti apakah jadinya jika puisi difilmkan? Jadilah No Country for Old Men!

Jika dianalogikan dengan puisi, adegan demi adegan yang disusun oleh Coen bersaudara di film ini laiknya susunan kata-kata yang membentuk puisi yang subtil dan sublim. Tak ada lagi yang bisa ditambah atau dikurangi dari film ini. Film ini memang bercerita soal kejar-mengejar, tembak-menembak, rentetan peluru, luka dan darah, namun jauh dari banal. Bahkan bisa dikatakan bahwa setiap peluru yang meletus, setiap luka yang koyak, dan setiap darah yang menetes adalah kata-kata yang membentuk untaian pesan yang dalam dan tak bisa menemukan bentuk lain pengungkapannya kecuali sebagaimana digambarkan film ini.

Joel dan Ethan Coen memang menyajikan tontonan yang cerdas dalam karyanya ini. Mereka paham betul bahwa fragmen-fragmen dalam film ini tidak dapat disampaikan melalui dialog, atau narasi. Hanya lewat bahasa visual. Ketegangan demi ketegangan dibangun dengan pertanda yang menjadi pesan yang bersembunyi dalam kegelapan, berbunyi di tiap ketukan sepatu pada lantai, atau terlihat pada guliran koin di udara yang sisi-sisinya menentukan nyawa seseorang.

Siapa yang mampu menahan diri seperti Llewelyn (Josh Brolin) yang gelisah mereka-reka waktu datangnya calon pembunuh di depan pintu yang terkunci, sementara di sela bawah pintu terlihat bayangan sepasang telapak kaki menutupi sinar yang masuk? Dan teror menjadi klimaks ketika lampu koridor hotel yang menjadi satu-satunya petunjuk mendadak mati.

Ia juga tak perlu dialog atau adegan mengiba untuk membuat sedih penonton. Cukup menghadirkan adegan Anthon Chigrug (Javier Bardem) melihat ke kedua telapak sepatunya untuk melihat sisa darah selesai bertemu istri Llewelyn yang sudah diniatkan akan dibunuh.

Lain dari biasanya, di mana film-film sering mengandalkan bunyi musik untuk menebalkan ketegangan, Joel Coen dan Ethan Coen justru menghapus musik dan membiarkan bunyi setiap adegan yang bericara. Dan pilihan duo sutradara ini terbukti mujarab untuk merayu para juri Academy Award untuk memberikan piala Oscar dalam kategori Best Picture dan Best Director.

Untuk peran Javier Bardem yang mendapat Oscar sebagai Aktor Pendukung terbaik, kita tentu kesulitan untuk menemukan penjahat yang lebih menakutkan ketimbang itu. Terlihat dingin dan tak punya aturan, Bardem sukses menghadirkan sosok pembunuh psikopat yang emosinya tak mampu lagi bereaksi terhadap pembunuhan yang baru saja dilakukan.

Sementara Sheriff (Tommy Lee Jones), karakter utama film ini, justru digambarkan dengan cara yang sangat ironis. Sejak awal kita tahu ia tak punya kemampuan lagi untuk menghadapi kejahatan model begini. Hasilnya, ia hanya mampu melihat jejak-jejak seperti darah, mayat dan bekas tembakan yang ditinggalkan para penjahat, tanpa punya kesempatan untuk bertemu muka sekalipun dengan pelaku. Ironisme ini diperkuat dengan adegan penutup film yang menggambarkan pengakuan sang Sheriff atas keterbatasannya, dan film tiba-tiba berhenti sebelum ia selesai bicara.

Jika yang kita cari dari film ini adalah heroisme atau kehebatan seorang jagoan, maka semua itu akan luput segera. Joel dan Ethan memang tidak sedang menceritakan itu. Mereka sedang berpuisi tentang seorang tua, puisi yang buram bagi masa tua.

Related Posts by Categories



Widget by Hoctro | Jack Book

2 komentar:

  1. seperti kata bang alamsyah, penulis novel "leleki Laut", tulisan Makki lincah dan gesit. laiknya penari. dan bagiku tulisan ini nyaris puisi juga; tak bisa ditambah dan dikurangi. sayang saya tak bisa komentar tentang isi tulisan ini karena jarang sekali nonton...

    BalasHapus
  2. Kapan-kapan kita nonton bareng, Bung.

    BalasHapus