Kata-kata Haji Mahbub


1 Oktober 1995, H Mahbub Djunaidi mengembuskan nafas terakhir. Enam belas tahun Mahbub meninggalkan kita, batang hidungnya tak akan pernah muncul kembali. Tapi kata-katanya masih hidup. Siapa yang hendak belajar bahasa? Mahbub salah satu rujukannya.

BAGI saya H. Mahbub Djunaidi adalah jawaranya esais. Misal ada kategori lima orang esais terbaik dalam sejarah Indonesia, saya ngotot menominasikannya sebagai salah satu. Kalau definisi mutakhir teks mengatakan sia-sia membuat pembedaan antara gaya dengan isi tulisan, Mahbub adalah contoh sempurna.

Koin Sastra untuk HB Jassin Baru Terkumpul Rp200 juta


Penulis : Vini Mariyane RosyaMinggu, 22 Mei 2011 20:17 WIB     

JAKARTA--MICOM: Meski telah berselang hampir 3 bulan berjalan, gerakan koin sastra untuk Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin baru mengumpulkan dana sebesar Rp200 juta. 

Jumlah tersebut sangat jauh dari kebutuhan PDS HB Jassin yakni Rp1 miliar per tahun. 

"Kalau direkapitulasi jumlah dana yang sudah terkumpal baru mendekati Rp200 juta. Tapi itu belum termasuk sejumlah PC ada sekitar 7-8 PC, beberapa TV dan AC," ungkap salah satu penggagas koin sastra, Ahmad Makki di sela-sela acara kliping sastra massal di Taman Ismail Marzuki, Minggu (22/5).

"Aku Penyelamat Peradaban"


Ditulis oleh: Wahyu Adi Putra
Tanggal: 27 Mei 2011


Jumat pagi, 21 Mei 2011, saya tiba di Gedung Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Tujuan saya: mengikuti sebuah pelatihan penggunaan alat-bantu terjemahan yang diadakan oleh Himpunan Penerjemah Indonesia. Di sela rehat pelatihan, saya bertemu dan bercakap-cakap dengan salah seorang relawan Koin Sastra yang sedang istirahat di ‘Tangga Biru’, dekat pintu masuk ke gedung PDS HB Jassin. Dalam percakapan tersebut, setelah berbincang sedikit tentang kemajuan program Koin Sastra, saya memperkenalkan diri sebagai salah satu anggota redaksi MediaSastra.com. Mendengar hal itu, teman bicara saya langsung memberitahu bahwa esok harinya, Sabtu, 22 Mei 2011, pukul 10:00 wib di PDS HB Jassin akan dibuat satu acara bertajuk Kliping Massal. Saya yang semula berencana kembali ke Yogyakarta pada Sabtu pagi pun langsung mengubah jadwal kepulangan saya demi meliput acara ini.

Mengingat Sang Pendekar Pena Mahbub Djunaidi

29/07/2011 14:05

Jakarta, NU Online
Gabungan forum study mahasisawa Ciputat mengadakan diskusi tentang Pendekar Pena Mahbub Djunidi pada Kamis, (27/07). Acara berlangsung di Asrama Putri PMII Cabang Ciputat pada pukul 19.30 sampai 23.30. Dimulai dengan tahlilan. Kemudian meniup lilin sebagai hari ulang tahun Mahbub Djunaidi yang ke 78 oleh Profesor Chotibul Umam, sahabat Mahbub sewaktu di PB PMII dan surat kabar Duta Masyarakat.

Pekan Oleh-oleh

Pekan-pekan belakangan ini saya kebanjiran oleh-oleh. Demikian banyaknya, misal kumpulan oleh-oleh itu ditumpuk jadi satu, lutut saya bakal gemetaran mengangkatnya. Banyaknya oleh-oleh ini terkait dengan teman-teman saya yang belakangan ini rajin berpergian. Pertama adalah serombongan kecil yang bertandang ke Jogja.

Buku Bekas dan Kebiadaban

Sekitar dua minggu lalu, gara-gara membincang perihal esai-esai Mahbub Djunaidi, hari itu juga saya putuskan bakal ke Taman Ismail Marzuki (TIM) bersama Abdullah Alawi, kerap dipanggil Abah, buat “mengobrak-abrik” toko buku Jose Rizal Manua, demi mencari karya mantan ketua PWI ini. Dengan catatan, pasca saya memasak dan makan. Kebetulan sekali saat itu kerjaan dapur saya dalam tahap hampir beres.

Harga Tinggi Pasaran Inggris

Ada masanya ketika Arsene Wenger kelihatan ogah memakai pemain-pemain Inggris di tim utama Arsenal. Pernah terjadi dalam sebuah laga, Arsenal tak mengajak seorang pun pemain berdarah Inggris, baik sebagai starter atau sekadar celingukan di bangku cadangan. Padahal sudah menjadi kebiasaan Wenger memberi pemain-pemain muda kesempatan bermain. Tapi apa boleh dikata, pemain-pemain muda yang didapat pelatih asal Prancis ini pun didominasi keturunan non-Inggris. Hal ini sempat dibahas habis-habisan pers Inggris yang berisik itu.

Para Perusak Harga

Memang tidak pernah ada batasan jelas berapa pemain sepakbola mesti dihargai jika ada klub lain berniat membelinya, namun selama ini terjadi semacam kesepakatan tak tertulis sekaligus landasan etika bagi tiap klub untuk menawar atau menghargai pemain berdasar kualitasnya di atas lapangan. Meski ada perbedaan di antara tiap kasus transfer, tapi selalu ada ancar-ancar harga untuk tiap tingkat kualitas. Kalaupun meleset, nilainya tak jauh-jauh amat. Bila ada persaingan, paling-paling hal itu sebatas pada besaran gaji serta fasilitas yang ditawarkan klub-klub peminat. Hal ini berjalan terus dan berevolusi seiring berjalannya waktu. Namun belakangan, oleh sebab-sebab tertentu, kesepakatan tersebut terusik hingga kian kabur batasannya. Bagaimana hal ini terjadi? Begini ceritanya:

Apakah Chelsea dan Manchester City Sudah Belajar?

Kalau melihat tradisi di musim yang sudah-sudah,  Chelsea dan Manchester City kerap jadi fenomena di kontes jual-beli pemain saban periode transfer. Paling tidak sejak “kenaikan status ekonomi” mereka, klub-klub besar tradisional tak lagi bisa sekadar mengandalkan reputasinya yang menjulang buat membidik pemain. Manuver mereka yang bertumpu pada kekuatan modal bahkan bisa membuat lutut para juru transfer klub sekelas Real Madrid gemetaran melawan sihir kibasan bergepok duit. Dan pada periode pra musim seperti sekarang inilah biasanya klub-klub ini menyenangkan para wartawan dan bos media, lantaran sering membuat kisah transfer sensasional yang cocok dipajang besar-besar di medianya.

Kesederhanaan dan Contoh

Seorang tokoh besar negeri ini bercerita, pernah beberapa tokoh politik kesohor tingkat nasional era 50-an, yang berasal dari berbagai golongan berkumpul demi membahas sebuah soal. Beberapa di antara yang datang tersebutlah dedengkot NU kala itu, K.H. Wahid Hasyim, serta I.J. Kasimo, pentolan Partai Katolik. Dapatlah kiranya kita raba betapa penting duduk persoalannya jika mereka sudah kumpul bersama begini. Memang perkara yang dibahas bukanlah urusan politik semacam koalisi, bagi-bagi kekuasaan, atau barangkali sekadar berdamai dan berkelakar setelah habis berdebat di ruang-ruang resmi, melainkan soal pembangunan sebuah rumah.
Melakukan tugas mengkliping di PDS HB Jassin, selaku relawan #KoinSastra, menjadi aktivitas yang paling banyak menyita waktu saya sejak dua bulan terakhir. Selama itu tentu banyak catatan yang terekam di ingatan saya. Bersama relawan lain, umumnya saya menghabiskan durasi "jam kerja" kami, mulai 12.00-17.00 WIB, dengan ceria. Ada orang-orang lama yang tetap konsisten bertahan, datang juga orang-orang baru yang tak kalah giat.

Kurban, Korban, Pengorbanan


Tuhan tiga kali datang dalam mimpi-mimpinya. Ibrahim takjub, tapi ia yakin Ismail, anak yang berpuluh tahun ditunggu lahirnya, anak yang baru lahir di masa tuanya, benar-benar diminta Tuhan. Maka Ibrahim berkali-kali mengasah belati dan meyakinkan hati. Sepertinya ia ingin berkompromi; mengasah belati berkali-kali agar Ismail tak perlu berlama-lama merasakan sakit, meyakinkan hati agar tetap geming dari perintah Tuhannya.

Tentu saja Tuhan tahu apa artinya Ismail bagi Ibrahim, tapi justru karena itu Ia memintanya demi menguji keteguhan hati Ibrahim. Dan kemudian kita tahu ibrahim adalah -meminjam istilah Chairil Anwar- “pemeluk teguh”. Ia membaringkan Ismail di sebuah batu, menyebut nama Tuhannya sambil bergegas menetak leher Ismail.

Tapi tentu saja Tuhan tahu apa arti Ismail bagi Ibrahim, karenanya Ia mendadak mengganti Ismail dengan seekor kibas dan kita pun merayakannya hingga kini. Mungkin kita ikut larut dalam gembira Ibrahim. Atau karena setelah itu kita selalu menyempatkan diri untuk saling berbagi di hari Idul Adha. Mungkin juga kita lega karena bisa jadi ini adalah simbolisasi tidak relevannya lagi ritual pengorbanan manusia untuk Tuhan atau agama.

Bahasa kita mengenal istilah kurban, korban dan pengorbanan. Yang diminta oleh Tuhan kepada Ibrahim adalah pengorban. Dalam kata ini tersirat makna bahwa yang akan dikorbankan mestilah sesuatu yang mempunyai arti. Kita tahu, saat itu Ismail akan menjadi seorang korban dari kehendak Tuhan. Dan memang, dalam proses itu konon Ibrahim sempat berpikir bahwa kecintaannya kepada Ismail yang lama dirindui tak boleh menghalangi garis lurus yang terhubung antara dua titik; dirinya dan Tuhan. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi seandainya Ibrahim menampik kala itu. Tapi yang jelas kita tahu bahwa pengorbanan Ibrahim tidak pernah menjatuhkan korban, yakni Ismail, tapi justru menghasilkan kurban, yakni seekor kibas.

Perubahan antara korban dengan kurban ini sangat penting dalam nilai-nilai kemanusiaan. Dalam kata korban tentu ada manusia yang menderita, yakni sang korban. Itu belum termasuk pihak yang berkorban. Namun ketika kata “korban” berubah menjadi “kurban”, kita tahu, ada derita yang direduksi. Di sini tidak ada lagi manusia yang menjadi korban.

Perintah Tuhan untuk berkurban bisa jadi merupakan sebuah pelajaran etika bagi manusia. Sejak dulu orang tahu bahwa diperlukan pengorbanan untuk menjalani hidup. Namun dari perintah ini kita tahu bahwa pengorbanan tidak mesti menghasilkan korban-korban, pengorbanan tidak simetris dengan pengebirian hak-hak orang lain. Bahkan Tuhan mengajarkan pengorbanan yang menghasilkan kurban, sebuah pengorbanan yang berisi semangat saling berbagi.

Semoga kita bisa saling memberi kurban.
Ciputat, 8 Desember 2008

[Kegiatan] Menulis dan Mengembangkan Mading Pesantren

Jakarta-wahidinstitute.org. Setelah digelar pertama kali pada Agustus 2009, Kelas Menulis Pesantren yang difasilitasi sejumlah generasi muda Nahdlatul Ulama kembali digelar pada 12-14 Desember 2010. Kali ini bertempat di Pesantren Tapak Sunan, Condet Jakarta Timur. Diikuti 30 santriwan dan santriwati yang pertengahan Desember lalu tengah berlibur.  

Pada Agustus 2009 silam, peserta Kelas Menulis dikuti 30-an peserta dari perwakilan empat pesantren di wilayah Depok: Pesantren Al-Karimiyah Sawangan Depok; Pesantren Al-Hamidiyyah Depok, Pesantren Qatrunnada, Citayam, Depok; dan Pesantren Al-Mannar. Tempatnya digelar bergiliran.

Kelas Menulis Tapak Sunan sendiri digelar atas permintaan pengelola pesantren, meski sebelumnya pihak fasilitator berencana mengembangkan pelatihan semacam ini di pesantren lain di Jakarta dan sekitarnya. Pihak Pesantren Tapak Sunan berharap, saat liburan para santri mendapatkan skill tambahan, khususnya  dunia tulis menulis. Pelatihan tersebut juga digelar menjelang lomba membuat majalah dinding (mading) yang akan diikuti perwakilan pesantren pimpinan KH. M. Nuruddin Munawar ini.

Karena itu dalam materi Kelas Menulis, fasilitator banyak pula memberi materi dan praktik mengelola mading. Oleh fasilitator, peserta diminta merancang, membuat dan mengisi mading. Mereka diminta turun lapangan untuk melakukan wawancara dan liputan. Dibagi per kelompok, mereka mewancarai penjual bakso, siomay, atau pedagang es yang mangkal di lingkungan pesantren. Hasil wawancara kemudian didiskusikan antar kelompok dipandu fasilitator, yang ikut memberi masukan mulai dari sudut bidik (angle) yang dipilih, diksi yang dipakai, dan tema yang digarap. 

Tak hanya materi itu yang diberikan. Selain manajemen redaksi, Kelas Menulis juga membekali para peserta tentang materi menulis fiksi seperti cerpen dan puisi. Materi cerpen diberikan Abdullah Alawi, cerpenis yang juga mahasiswa akhir UIN Syarif Hidyatullah Jakarta. Sementara puisi diberikan Ahmad Makki, juga mahasiswa akhir UIN Syarif Hidayatullah. Rencananya hasil puisi dan cerpen itu akan dibukukan sehingga menjadi kenang-kenangan untuk para peserta.

Fasilitator lain yang terlibat dalam pelatihan ini adalah Hamzah Sahal, jurnalis NU Online, Alamsyah M. Dja'far aktivis the Wahid Institute (WI), Nurun Nisa juga dari WI, Imam Malik staf di Sampoerna Foundation, Abi S. Nugroho, mahasiswa Islamic College for Advanced Studies (ICAS) Jakarta, Dedik Priyanto dan Muchlisin, keduanya aktivis Lingkar Studi Piramida Circle dan mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 

Usai Kelas Menulis, pelatihan ini masih akan ditindaklanjuti dengan membuat buletin pesantren yang akan dimulai pertengahan Januari. "Pengasuh juga antusias dengan kegiatan semacam ini dan meminta kepad fasiltator membuat lagi pelatihan media dan penguatan jaringan untuk para guru," kata Abdul Hamid, salah seorang ustad yang mendampingi kegiatan ini.

Kepada wahidinstitute.org, Hamzah Sahal menyatakan akan merencakan membuat pelatihan pelatihan media dan penguatan jaringan yang akan diikuti perwakilan guru-guru pesantren. "Selain Pesantren Tapak Sunan, guru-guru dari pesantren yang santrinya sudah kita latih juga akan kita undang," katanya. 

Kelas Menulis dilakukan secara swadaya. Selain donasi dalam bentuk uang dari berbagai pihak, pelatihan ini juga mendapatkan bantuan buku-buku dari sejumlah penerbit. Di dua pelatihan tersebut, peserta mendapatkan buku bacaan selain materi pelatihan. "Kami berharap kegiatan ini bisa terus diduplikasi untuk daerah-daerah lain," tandas Hamzah. []

The Assassination of Jesse James by the Coward Robert Ford: Misterius dan Intimidatif

Amerika sepertinya cukup akrab dengan tokoh-tokoh semacam Robin Hood; perampok yang populer dan disukai masyarakat. Dari kancah film kita mengetahui sosok-sosok "penjahat yang disukai" seperti John Dilinger yang paling tidak telah dua kali difilmkan dengan judul Dilinger pada era 70-an (saya lupa tepatnya), dan Public Enemy (2009) yang diramaikan Johnny Depp dan Christian Bale. Selain Dilinger, masih ada nama lain yang tidak kalah "harum", yakni Jesse James. Setahu saya sudah ada tiga biopik mengenai tokoh ini, yakni Jesse James tahun 1927 dan di-remade tahun 1939, serta film yang dikomandani sutradara Andrew Dominik ini, The Assassination of Jesse James by the Coward Robert Ford.

Film ini menceritakan periode terakhir kehidupan Jesse James (Brad Pitt), terfokus pada dua gagasan; kedigjayaan Jesse James, serta pemujaan Robert "Bob" Ford (Casey Affleck) terhadap sosok Jesse James. Sejak awal film ini menunjukkan betapa inginnya Bob masuk ke dalam gerombolan perampok dengan pimpinan Jesse James, yang digambarkan sebagai sosok misterius tak terduga, dengan intuisi luar biasa (entah bagaimana, ia selalu tahu kapan ia akan diburu, serta siapa anggota kelompoknya yang berlaku curang).

Di sini kisah hidup Jesse James dipresentasikan dengan cara muram. Penggunaan warna sepia yang dominan menegaskan hal tersebut. Ketegangan demi ketegangan dibangun dengan cerdik, bukan melalui todongan atau adu senjata, namun melalui dialog serta perilaku Jesse James yang tak terduga. Dialog-dialog yang dibangun betul-betul menunjukkan superioritas Jesse James. Penonton seolah-olah senantiasa diminta bersiap, sebab ia bisa mencabut pistolnya kapan saja.

Pada satu adegan, misalnya, ia bercerita kepada Charley (Sam Rockwell), kakak dari Bob, tentang pembunuhan yang dilakukannya terhadap seorang famili dekat Charley. Charley yang juga terlibat dalam terbunuhnya seorang famili Jesse mendadak tercekat dan gugup ketika Jesse mengatakan; "apakah kau mau bertukar cerita denganku" dengan raut muka yang yakin dan senyum ambigu.

Di adegan lain, dalam gelapnya tengah malam, Bob sedang menenangkan Charley yang menangis ketakutan membayangkan bagaimana nasib mereka berdua di tangan Jesse James. Ketika Bob pergi dan Charley agak tenang, mendadak dari kegelapan seseorang berucap "tidurlah, Charley".

Fase akhir film yang terfokus pada Jesse James, Charley dan Bob, benar-benar menggelisahkan. Bersama penonton, Bob dan Charley yang bersekongkol dengan polisi untuk membunuh Jesse James akan dibuat seperti cacing kepanasan. Apapun yang mereka rencanakan Jesse James seolah mengetahuinya. Ketenangan Jesse James membuat adegan demi adegan kian tak pasti ujungnya. Menurut saya karakter seperti inilah yang menjadi daya tarik utama film ini. Ketimbang menggambarkan Jesse laiknya koboy tanpa tanding, penonton justru diajak menyimpulkan bahwa kedigjayaan seorang pendekar sekelas Jesse James dibangun melalui karakternya yang kuat, dengan atau tanpa senjata.

Menurut saya film ini bisa dikatakan sebagai salah satu penampilan terbaik Brad Pitt. Ia berhasil membangun sosok tenang dan meyakinkan sekaligus mengintimidasi dan mematikan, meski jarang mencabut senjata. Saya cukup heran mengetahui ia bahkan tak dipertimbangkan sebagai nominasi Oscar untuk penampilan cemerlangnya ini. Penampilan Casey Affleck pun tak mengecewakan. Saya yakin, Ben Affleck, saudaranya yang lebih tenar, akan iri melihat penampilannya.

Andrew Dominik berhasil mengisahkan perkembangan karakter Bob yang tadinya begitu mengidolakan Jesse, namun akhirnya bersedia dibayar untuk membunuh idolanya, melalui peristiwa demi peristiwa yang membuatnya disudutkan oleh dua pilihan sulit; dibunuh, atau membunuh Jesse James. Ambiguitas ambisi Bob untuk menyamai, bahkan melampaui kehebatan Jesse, juga memberi andil dalam proses ini.

Pada akhirnya, Bob dan Charley bersaudara memang sukses membunuh Jesse, namun Andrew Dominik berhasil menyugesti penonton bahwa reputasi dan superioritas Jesse tak terusik sedikit pun. Beberapa detik menjelang kematiannya Jesse dengan sukarela melepas senjatanya dengan ekspresi seolah dia tahu itulah saat yang tepat baginya untuk mati. Nasib dan opini masyarakat kepada Bob dan Charlie pasca kematian Jesse justru kian menegaskan kehebatan mantan komandan mereka itu.