Ring Back Tone, Dua Sisi Teknologi

Runaway world, demikian Giddens mengomentari kemajuan kehidupan zaman ini yang kian kencang dan sulit diprediksi. Teknologi telah membuat semuanya jadi serba mungkin, segala sisi kehidupan kini telah berjalan sedemikian praktis. Banyak hal yang tak pernah dipikirkan manusia, atau menjadi sekadar fiksi ilmiah pada beberapa dekade sebelumnya, kini benar-benar telah terjadi dan berlaku sebagai pengalaman sehari-hari dan merambah ke segala bidang kehidupan, tanpa kecuali. Gejala yang sama tentu saja menjangkit di dunia musik, terutama jika kita memperlakukannya sebagai satu unsur terpenting dalam jagat hiburan.

Perkembangan mutakhir dari teknologi musik dan komunikasi adalah Ring Back Tone (selanjutnya RBT) yang kini kian digemari banyak orang dan sudah menjadi wahana industri tersendiri. Layanan ini memanfaatkan kecanggihan teknologi komunikasi selular dan memungkinkan tiap orang untuk mempersonalisasi nada panggil dari masing-masing nomornya. Banyak orang bahkan memakai layanan ini sebagai gambaran dirinya dengan memakai lagu-lagu yang dianggap mewakili, entah perasaan aktualnya, pandangan hidupnya, atau sekadar hobinya.

Sebagaimana lazimnya, sebuah teknologi baru yang populis akan mendorong beberapa konsekuensi khas yang sebelumnya tak pernah terjadi, RBT pun menginisiasi beberapa perubahan mendasar dalam dunia musik seperti yang akan dipaparkan di bawah, dan terbagi dalam sifatnya yang positif dan negatif.

Konsekuensi positif

Saya mencatat beberapa konsekuensi positif yang menguntungkan para pelaku industri musik. Hal ini tentu saja sinyal positif, terutama bagi para musikus yang selama ini mengalami banyak cobaan dalam berkarya.

Konsekuensi pertama yang langsung muncul dari teknologi RBT adalah proteksi total karya musikus dari perilaku pembajakan. Kita tahu bahwa masalah ini adalah problem universal yang dihadapi oleh musikus di mana pun. Yusuf Islam, musikus internasional yang juga aktivis anti pembajakan pernah memandang agak sinis kepada industri musik Indonesia yang dianggapnya belum serius menangani pembajakan. Dengan adanya RBT ini paling tidak musikus kini memiliki satu wilayah teknologi di mana tangan-tangan pembajak tidak mampu menjangkaunya, karena sifatnya yang tak mungkin diduplikasi. Satu-satunya yang memiliki akses peredarannya adalah provider yang dipilih oleh musikus.

Akibat selanjutnya yang bernilai positif tentu saja adalah sisi nilai keuntungan yang dapat diperoleh oleh musikus. Memutus rantai pembajakan saja sudah sangat berarti bagi para musikus, apalagi hal ini masih ditambah dengan kalkulasi penjualan RBT yang jauh lebih mahal di atas penjualan album, baik dalam bentuk kaset atau pun cd. Harga satu album musik dalam bentuk kaset dan cd secara umum berkisar dari Rp. 20.000,00 – Rp. 50.000,00. Bandingkan dengan harga RBT yang mencapai Rp. 7.500,00 – Rp. 9.000,00 hanya untuk satu lagu. Itu pun hanya berlaku tiga puluh hari. Kalkulasi ini tentu imbalan yang layak untuk musikus yang sudah bersusah-payah berkarya.

Format RBT yang tidak dalam bentuk material pun menghadirkan keuntungan tersendiri bagi para musikus. Ongkos produksi yang selama ini dikeluarkan paling tidak dalam tiga lini, yakni tahap recording, produksi penggandaan, dan promosi, kini bisa dipangkas hanya untuk yang pertama dan terakhir. Produksi penggandaan yang cukup mahal demi menghadirkan karya dalam bentuk material seperti cd dan kaset praktis bisa ditiadakan dalam industri RBT.

Konsekuensi negatif

Beberapa waktu lalu, Anji (vokalis grup musik Drive), mengeluarkan pernyataan menarik seputar industri RBT ini. Dengan tepat ia mengatakan bahwa industri ini dapat membuat musikus malas berkarya. Karena sebagaimana kita tahu bahwa untuk menghadirkan karyanya menjadi materi RBT musikus tidak perlu membuat satu album yang umumnya berisi sepuluh lagu, tapi cukup satu lagu. Hal ini pernah dipraktikkan oleh penyanyi Once belum lama ini. Kemudahan ini tentu saja bisa mengakibatkan hal yang dikeluhkan oleh Anji tersebut. Apalagi dengan persaingan yang kian ketat dan tekanan berproduksi dari pihak pelaku industri yang menaungi musikus.

Bagaimanapun kita mesti mengakui bahwa iklim industri musik kita masih sangat berorientari pada keuntungan dan sering menyampingkan sisi-sisi seperti kreativitas, eksperimentasi dan orisinalitas ide. Kondisi seperti ini membuat para musikus tidak memiliki benteng mentalitas dalam menghadapi godaan teknologi yang seringkali menjanjikan jalan instan yang banal.

Selain konsekuensi tersebut, mesti dipertimbangkan juga sifat RBT yang tidak melakukan diskriminasi antara karya musik dengan bebunyi lainnya. Kasus ucapan “uchan, bechek ga ada ochek” dari Cinta Laura bisa dijadikan contoh. Begitu populernya ucapan ini membuat beberapa pihak menjadikannya sebagai RBT dan bersanding aman dan berharga sama dengan karya-karya musik pada umumnya. Kenyataan ini bisa saja membuat kita tak sadar lagi dengan perbedaan antara karya musik dengan sensasi.

Bahasan ini tentu saja seperti mengungkit perdebatan lama soal pembedaan antara seni tinggi dengan budaya massa yang dilakukan oleh Theodor W. Adorno, pemikir Mazhab Frankfurt generasi pertama, yang dikritik oleh pemikir-pemikir sesudahnya, terutama para pegandrung cultural studies. Memang pada akhirnya kita tak lagi bisa menarik garis demarkasi yang tegas antara berbagai bidang. Mana yang roman picisan dan mana yang karya sastra serius, mana yang perayaan tradisi, mana yang komersialisasi dan pengetalasean budaya, kita selalu bisa berdebat, juga dalam wilayah musik.

Namun yang ingin saya garis bawahi di sini adalah mentalitas para musikus. Bayangkan jika yang menjadi permintaan populis adalah sensasi-sensasi belaka semacam ucapan Cinta Laura di atas, maka sekali lagi mental kreativitas, eksperimentasi dan orisinalitas ide para musikus akan mendapat tantangan yang berat.
***

Di luar hal-hal di atas kita juga mesti menaruh perhatian terhadap regulasi-regulasi lama dalam industri musik yang masih mengandaikan penyebaran karya musik melalui bentuk-bentuk material seperti cd dan kaset. Peraturan-peraturan lama ini tentu mesti tetap ada dan diperbaiki karena praktik lama penyebaran karya melalui bentuk material masih berlaku. Yang mesti dilakukan adalah membuat regulasi baru yang komprehensif dan bersahabat dengan musikus sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas sebuah karya musik.

Pada praktiknya keuntungan penyebaran RBT ini dibagi kepada berbagai pihak yang berperan, yakni musikus, manajemen, produser, dan provider penyedia jasa. Dan tentu saja bukan bagian musikus yang terbesar. Dalam satu diskusi musikus senior Iga Mawarni pernah mengatakan bahwa di luar permasalahan regulasi lama yang sering merugikan musikus, regulasi RBT pun belum terspesifikasi dengan baik, karena menurutnya dalam regulasi ini sering diandaikan bahwa pihak produser masih mengeluarkan biaya untuk mencetak karya dalam bentuk material.

Sebagai sebuah negara, Indonesia memang seringkali ketinggalan dalam mempersiapkan regulasi menghadapi sebuah perkembangan baru, terutama dalam hal teknologi. Rekam jejak yang minor ini mesti diperbaiki dengan serius, karena kita seringkali mengangap sepele urusan-urusan yang berkaitan dengan karya seni, apalagi jika dibenturkan dengan soal lain semisal ideologi atau agama.
Ciputat, 2 Desember 2008

(pernah dipublikasi di http:// kacajendela.wordpress.com pada Desember 2008)

Related Posts by Categories



Widget by Hoctro | Jack Book

Tidak ada komentar:

Posting Komentar