Pekan Oleh-oleh

Pekan-pekan belakangan ini saya kebanjiran oleh-oleh. Demikian banyaknya, misal kumpulan oleh-oleh itu ditumpuk jadi satu, lutut saya bakal gemetaran mengangkatnya. Banyaknya oleh-oleh ini terkait dengan teman-teman saya yang belakangan ini rajin berpergian. Pertama adalah serombongan kecil yang bertandang ke Jogja.

Buku Bekas dan Kebiadaban

Sekitar dua minggu lalu, gara-gara membincang perihal esai-esai Mahbub Djunaidi, hari itu juga saya putuskan bakal ke Taman Ismail Marzuki (TIM) bersama Abdullah Alawi, kerap dipanggil Abah, buat “mengobrak-abrik” toko buku Jose Rizal Manua, demi mencari karya mantan ketua PWI ini. Dengan catatan, pasca saya memasak dan makan. Kebetulan sekali saat itu kerjaan dapur saya dalam tahap hampir beres.

Harga Tinggi Pasaran Inggris

Ada masanya ketika Arsene Wenger kelihatan ogah memakai pemain-pemain Inggris di tim utama Arsenal. Pernah terjadi dalam sebuah laga, Arsenal tak mengajak seorang pun pemain berdarah Inggris, baik sebagai starter atau sekadar celingukan di bangku cadangan. Padahal sudah menjadi kebiasaan Wenger memberi pemain-pemain muda kesempatan bermain. Tapi apa boleh dikata, pemain-pemain muda yang didapat pelatih asal Prancis ini pun didominasi keturunan non-Inggris. Hal ini sempat dibahas habis-habisan pers Inggris yang berisik itu.

Para Perusak Harga

Memang tidak pernah ada batasan jelas berapa pemain sepakbola mesti dihargai jika ada klub lain berniat membelinya, namun selama ini terjadi semacam kesepakatan tak tertulis sekaligus landasan etika bagi tiap klub untuk menawar atau menghargai pemain berdasar kualitasnya di atas lapangan. Meski ada perbedaan di antara tiap kasus transfer, tapi selalu ada ancar-ancar harga untuk tiap tingkat kualitas. Kalaupun meleset, nilainya tak jauh-jauh amat. Bila ada persaingan, paling-paling hal itu sebatas pada besaran gaji serta fasilitas yang ditawarkan klub-klub peminat. Hal ini berjalan terus dan berevolusi seiring berjalannya waktu. Namun belakangan, oleh sebab-sebab tertentu, kesepakatan tersebut terusik hingga kian kabur batasannya. Bagaimana hal ini terjadi? Begini ceritanya:

Apakah Chelsea dan Manchester City Sudah Belajar?

Kalau melihat tradisi di musim yang sudah-sudah,  Chelsea dan Manchester City kerap jadi fenomena di kontes jual-beli pemain saban periode transfer. Paling tidak sejak “kenaikan status ekonomi” mereka, klub-klub besar tradisional tak lagi bisa sekadar mengandalkan reputasinya yang menjulang buat membidik pemain. Manuver mereka yang bertumpu pada kekuatan modal bahkan bisa membuat lutut para juru transfer klub sekelas Real Madrid gemetaran melawan sihir kibasan bergepok duit. Dan pada periode pra musim seperti sekarang inilah biasanya klub-klub ini menyenangkan para wartawan dan bos media, lantaran sering membuat kisah transfer sensasional yang cocok dipajang besar-besar di medianya.

Kesederhanaan dan Contoh

Seorang tokoh besar negeri ini bercerita, pernah beberapa tokoh politik kesohor tingkat nasional era 50-an, yang berasal dari berbagai golongan berkumpul demi membahas sebuah soal. Beberapa di antara yang datang tersebutlah dedengkot NU kala itu, K.H. Wahid Hasyim, serta I.J. Kasimo, pentolan Partai Katolik. Dapatlah kiranya kita raba betapa penting duduk persoalannya jika mereka sudah kumpul bersama begini. Memang perkara yang dibahas bukanlah urusan politik semacam koalisi, bagi-bagi kekuasaan, atau barangkali sekadar berdamai dan berkelakar setelah habis berdebat di ruang-ruang resmi, melainkan soal pembangunan sebuah rumah.