Alfred Riedl Harus Berani Ubah Strategi!


Pasca kekalahan 3-0 tim Garuda di leg pertama Final Piala AFF 2010 di Stadion Bukit Jalil tanggal 26 Desember lalu, pertanyaan selanjutnya, adalah apa yang mesti dilakukan timnas Indonesia pada leg kedua di GBK hari ini? Mengejar marjin tiga gol dalam waktu 90 menit sejujurnya adalah pekerjaan amat sulit, apalagi melawan Malaysia yang memiliki kualitas setara dengan tim Garuda. Tapi pelatih kepala Tim Garuda, Alfred Riedl, sudah menyatakan akan bermain terbuka untuk mencetak gol, tak peduli berapa hasilnya.

Melihat peta kekuatan di leg pertama kemarin, Malaysia jelas bukan tim yang sama seperti saat dilumat habis tim Garuda 5-1 di babak penyisihan. Pressing yang mereka praktikan terlihat begitu kuat. Christian Gonzales yang biasanya licin dan stylist jadi lebih banyak menganggur lantaran jarang mendapat bola strategis dari lini tengah yang buntu.

Serangan yang dibangun tim Harimau Malaya, julukan timnas Malaysia, di leg pertama terbukti efektif. Duet Firman Utina dan Bustomi yang biasanya padu dan kokoh sama sekali dibikin tak berdaya. Setiap pemain tengah Malaysia menginisiasi serangan, mereka langsung menghadapi empat bek sejajar Indonesia yang bermain gugup tanpa marking berarti dari rekan-rekannya di lini tengah Indonesia. Hasilnya, pemain depan mereka leluasa mengembangkan kreativitas di depan kotak penalti Indonesia.

Hal lain yang mesti dicatat, adalah absennya beberapa pemain inti tim Garuda dengan berbagai alasan. Sayap cepat Okto Maniani dipastikan absen akibat akumulasi kartu. Striker lincah Yongki Ariwibowo dibebat cedera. Sementara kiper Markus Haris yang mengalami cedera tulang dada masih harus menunggu perkembangan kondisi.

Keadaan ini tentu memaksa Riedl memutar otak. Dengan formasi 4-4-2 yang kerap dimainkan, tinggal dua pemain sayap tersisa, yakni M. Ridwan yang kemarin bermain tak efektif, serta sang supersub Arif Suyono. Dengan kondisi begini tim Garuda dituntut mencetak gol cepat untuk menekan berkembangnya strategi tim Malaysia. Untuk itu menurut saya pilihan paling strategis adalah mengganti formasi.

Dengan keinginan tampil terbuka demi mengejar banyak gol, ditambah strategi conter attack yang kemungkinan besar dikembangkan Malaysia, memasang tiga striker sekaligus dalam formasi formasi 4-3-3 yang ofensif harus ditimbang Riedl. Hal ini bisa jadi eksperimen kejutan buat lawan.

Jika Markus berhalangan, Ferry Rotinsulu yang memiliki kualitas sejajar patut ditimbang. Pengalaman di level timnas akan jadi nilai lebihnya dibanding Kurnia Mega. Penampilan Markus yang meragukan setelah berulang kali melakukan blunder juga patut dicatat Riedl. Di posisi bek, empat bek utama tetap layak jadi pilihan. Jika ada perubahan, posisi Maman Abdurrahman perlu dievaluasi mengingat beberapa blunder fatal yang dilakukannya pada leg pertama di Bukit Jalil.

Trio pemain tengah akan diisi duet langganan Firman Utina dan Bustomi, ditambah Arif Suyono. Sementara trio pemain depan tak ada pilihan tersisa selain Bambang Pamungkas, Christian Gonzales dan Irfan Bachdim. Kecepatan Irfan dan skill mumpuni yang dimiliki Christian Gonzales membuat mereka pantas diinstruksikan bermain melebar. Sementara Bambang ditempatkan sebagai target man.

Menghadapi Malaysia yang berkonsentrasi pada pertahanan, tiga striker ini akan memaksa empat pemain belakang Malaysia bermain lebih dalam. Hal ini akan menyulitkan koordinasi lini tengah mereka dalam membangun serangan balik yang rapi. Arif Suyono yang punya kemampuan membuka ruang dan penetrasi ke kotak penalti bisa membikin sibuk pemain lawan.

Sementara itu menahan Firman Utina dan Bustomi lebih ke tengah akan membantu pemain belakang melakukan press efektif untuk mengantisipasi kecepatan dan kecerdikan penyerang Malaysia, M. Safee. Kemampuan mereka mengirim umpan panjang ke kotak penalti bisa dimanfaatkan Bambang yang memiliki kemampuan heading.

Jika skema ini berjalan baik, kedua bek sayap timnas, yakni Nasuha dan Zulkifli bisa bergantian melakukan overlapping membantu serangan. Penting juga untuk selalu menyisakan tiga orang pemain belakang ketika tim dalam kondisi menyerang, sebagaimana diperlihatkan Tim garuda saat melawan Filipina.

Kesulitan yang mungkin dihadapi jika formasi ini diterapkan, adalah menumpuknya pemain bertahan Malaysia di kotak penalti sendiri. Hal ini pernah mereka lakukan kala menahan Vietnam 0-0 pada leg kedua semifinal di Vietnam. Dalam kondisi begini para pemain timnas Indonesia mesti berani mengerahkan skill individu untuk men-dribble bola ke kotak penalti lawan. Dengan ini potensi pelanggaran berbuah tendangan bebas yang menguntungkan, bahkan penalti, kian terbuka.

Kemungkinan tim Garuda mengejar selisih tiga gol ditentukan pada mampu atau tidaknya mereka mencetak gol di babak pertama. Jika perlu gol cepat. Kian cepat gol tercipta, kian tertekan pula para pemain Malaysia. Ini akan menyulitkan mereka membangun koordinasi per lini. Dukungan penonton di Indonesia yang telah diakui reputasinya semoga bisa mengerdilkan mental Tim Harimau Malaya.

Pada akhirnya apapun hasil yang diraih Tim Garuda, mereka telah memberikan antusiasme dan kegembiraan luar biasa bagi kita lewat penampilan mereka di Piala AFF 2010 kali ini. Kehadiran Pelatih Alfred Riedl dan sang Asisten Wolfgang Pikal mampu mengubah wajah permainan dan mentalitas pemain kita sedemikian rupa.

Di bawah tekanan campur tangan, kegilaan dan inkompetensi pengurus PSSI, tanpa piala pun apa yang dipertontonkan Tim Garuda beserta staf kepelatihannya adalah prestasi.

Satu Catatan Pasca Kekalahan Tim Garuda Di Stadion Bukit Jalil

Siapa pun tak akan menyangka bahwa leg pertama Final Piala AFF antara Malaysia versus Indonesia akan berkesudahan 3-0 untuk kemenangan tuan rumah Malaysia. Paling tidak di Indonesia, Bambang Pamungkas cs. diunggulkan memenangi final leg pertama meski sebagai tamu. Kemenangan 5-1 atas tim yang sama di laga penyisihan, ditambah konsistensi permainan, mengerek optimisme rakyat Indonesia ke titik tertinggi. Nyatanya jutaan orang terperangah melihat gawang Markus, penjaga gawang utama Timnas Indonesia digelontor tiga gol tanpa perlawanan berarti.

Siapa tidak girang melihat Tim Garuda melibas Malaysia dengan skor 5-1 dan membenamkan Laos 6-0. Lalu dengan sejumlah pemain cadangan, Thailand, yang prestasinya beberapa tahun terakhir membuat kita iri, dibungkam 2-1 lewat dua penalti yahud legendaris Tim Garuda, Bambang Pamungkas. Di semifinal, gawang timnas Filipina yang dijejali pemain naturalisasi dua kali didobrak Christian Gonzales dalam dua laga.

Di leg pertama partai final, gemuruh massa di Stadion Bukit Jalil yang didominasi warna kuning yang menjadi identitas timnas Malaysia, sudah merupakan tekanan tersendiri. Insiden sorotan laser yang membuat wasit menyela pertandingan menambah teror mental. Apa boleh buat, pasca insiden tersebut petaka tiga gol datang. Semua gol berawal dari minusnya konsentrasi pemain menjaga daerahnya. Maman sang komandan lini belakang malah membuat blunder fatal berujung gol pembuka. Nasuha yang lugas dan taktis, mendadak gamang menghadapi serangan sisi kanan tanpa dibantu Okto yang tampil lembek. Koordinasi lini belakang dan tengah hancur. Gonzales pun tak pernah mendapat umpan yang "bertaraf serius".

Dalam sepakbola, absennya konsentrasi berarti hilangnya disiplin. Hilangnya disiplin adalah lonceng kematian bagi penjaga gawang. Gol ketiga adalah gambaran terbaik betapa rapuhnya disiplin Tim Garuda minus kosentrasi.

Apa yang sebenarnya terjadi dengan timnas kita? Di tangan Alfred Riedl kita telah melihat timnas yang berbeda, timnas yang pantas dielu-elukan orang banyak. Lalu mengapa tahu-tahu kita dipermalukan begini?

Bagi saya "karya paling agung" Riedl bagi timnas kita hingga kini adalah disiplin yang dibangun melalui konsentrasi tinggi. Sepanjang turnamen, Tim Garuda boleh dibilang memiliki disiplin terbaik. Koordinasi tiap lini dirancang rapi. Empat bek yang tampil ciamik membuat duet Bustomi yang kokoh, dan Firman Utina yang cerdik mengatur serangan, leluasa memberikan bola ke sayap atau umpan panjang kepada target man. Tekanan pemain sayap dan wing back di tiap sisi efektif mematikan serangan tim lawan.

Riedl membangun ini mulai dari luar lapangan. Ia tahu kelemahan umum pemain Indonesia adalah mental; disiplin dan konsentrasi. Karenanya dia sadar sorak-sorai euforia yang terbuka akan membebani pemain dengan ekspektasi begitu tinggi dan melemahkannya dengan hal-hal remeh tak perlu. Ia menjaga para pemain dengan ketat, bahkan mengusir Boaz yang tak taat. Wawancara dengan media dibatasi begitu minim. Teman saya bahkan mencatat pers tak pernah berhasil mewawancarai Bambang Pamungkas selama pagelaran Piala AFF. Ya, publik memang haus melihat pujaannya, tapi kalau mau prestasi semua orang memang harus menahan diri.

Hal ini menjadi kacau ketika aktivitas-aktivitas irasional tahu-tahu digalang pengurus PSSI dan konco-konco politiknya yang mencoba "menunggangi" popularitas Firman Utina cs. Para pemain mendadak seperti barang pameran. Diajak mengunjungi tokoh anu, dijadwalkan istighosah di pesantren anu, diwawancarai dan disorot habis-habisan oleh media anu. Waktu yang sedianya dihabiskan untuk latihan, istirahat dan mengeratkan kekompakan tim, tahu-tahu beralih tak ubahnya selebrasi yang ingar-bingar

Oke, tekanan dan keriuhan adalah hal inheren dalam -setiap kompetisi seperti- sepakbola. Setiap tim yang bermain bagus akan dibebani dengan tuntutan yang kian tinggi. Pemain sepakbola modern tidak cukup hanya yahud di dalam lapangan, tapi juga mampu mengatur persoalan di luar lapangan.  Tapi seriuh apa pun euforia yang dihadapi pemain, pihak manajemen, baik klub atau timnas, akan menjadi pihak yang protektif dengan aktivitas pemain di luar lapangan.

Real Madrid pernah punya David Beckham yang begitu menjual. Mereka terang-terangan menikmati status Beckham sebagai selebritas di luar lapangan demi keuntungan komersil. Tapi betapapun besar kentungan yang dikeruk Beckham, Real Madrid tidak akan pernah menyetujui kegiatan yang mengganggu latihan rutin dan istirahat pemain barang semenit pun. Hal sebaliknya malah dilakukan para petinggi PSSI. Alih-alih menjaga, mereka malah mengumbar Irfan Bachdim dkk. di tengah histeria gadis-gadis. Para pemain diperlakukan seperti Justin Bieber yang memancing massa berteriak histeris.

Alfred Riedl dan asistennya Wolfgang Pikal tak urung geleng-geleng kepala sambil memasang wajah murung memandang riuh rendah "pasar kaget" ini. Meski baru diakuinya belakangan, penonton sepakbola berpengalaman pasti tahu sejak awal bahwa pelatih dengan level disiplin seperti itu mestilah ogah direcoki dengan selebrasi model begini. Apalagi belum juara. Tapi apa boleh buat jika Ketua Umum PSSI-nya sepayah Nurdin Halid.

Di tempat lain, untuk tim yang tengah menunggu partai puncak. Manajemen akan menutup rapat-rapat akses publik kepada pemain, dan sebaliknya. Di sini PSSI seperti rumah produksi film porno; kurang gelegar kalau tak vulgar!

Kegiatan-kegiatan tak relevan yang digagas pengurus PSSI menjelang final ini menjadi bukti betapa tak pahamnya mereka dengan manajemen sepakbola. Bagaimana berbicara soal pembinaan jangka panjang, mengatur urusan turnamen yang berdurasi mingguan saja tata-cara mereka tak karuan.

Kini Tim Garuda mendapat tugas maha berat pada leg kedua babak final di Stadion GBK. Harus menang tiga gol tanpa kebobolan demi memaksakan perpanjangan waktu. Sisi positifnya, pengurus PSSI kini enggan mengintervensi otoritas pelatih kepala seperti sebelumnya. Para pemain pun tak lagi pusing dibawa kemana-mana.

Kita sebagai pendukung hanya bisa memberi teriak dukungan dan doa, sambil berharap para pemain tampil lepas dan berbuat sebaik mungkin. Mereka adalah idola kita yang terus berlari dengan kaki-kaki yang lelah, demi memberi kita antusiasme seperti yang belum pernah dialami. Mereka adalah pahlawan bangsa yang telah memberi hal yang masih sulit dipenuhi pemerintah, membuat para penjual souvenir, kaus dan pedagang kecil banjir rezeki.

Menang atau kalah Garuda tetap di dada kita.


Risalah “Ada”, Kebebasan Manusia, dan Ateisme Jean-Paul Sartre

“Tuhan telah lepas dan meninggalkan
sebentuk lubang dalam diriku”
(Jean-Paul Sartre)

Prolog: Dekade 60-an abad lalu praktis menjadi milik Sartre. Saat itu dunia dilanda demam yang membuat hampir tiap orang mengenal namanya, dan berbondong-bondong menahbiskan diri mengikuti alur pikirannya. Mungkin inilah kali pertama filsafat menjadi sebuah gaya hidup yang populer.


Filusuf Prancis ini sejak kecil tenggelam di lembar demi lembar buku, mengenal nama-nama sebelum mengenal dunia. Ia yang sejak remaja tak lagi mengenal Tuhan, menghambakan diri pada kesusastraan, dan mendapat penghargaan Nobel susastra pada tahun 1964, namun ditolaknya dengan alasan akan mengurangi kebebasannya, dan enggan diidentikkan dengan kaum borjuis serta kapitalis. Pada sekitar periode itu pula ia menjelma sebagai eksistensialis nomor wahid, dan juru bicara humanisme yang paling depan. Pemikirannya membentangi tema-tema susastra, politik, kemanusiaan, kebebasan, dan lainnya.

Masalah “Ada”
“Eksistensi mendahului esensi”, begitulah selalu filusuf-filusuf eksistensialis berkata, ”dan cara manusia bereksistensi berbeda dengan cara beradanya benda-benda. Karenanya masalah “Ada” merupakan salah satu tema terpenting dalam tradisi eksistensialisme.

Bagi Sartre manusia menyadari Ada-nya dengan meniadakan (mengobjekkan) yang lainnya. Dari Edmund Husserl ia belajar tentang intensionalitas, yakni kesadaran manusia yang tidak pernah timbul dengan sendirinya, namun selalu merupakan “kesadaran akan sesuatu”. Baik kita ajukan contoh: Saat ini saya menyadari tengah duduk dalam sebuah forum diskusi, bersama dengan orang lain, serta benda-benda lain, sekaligus menyadari bahwa saya berbeda dengan orang lain, dan juga bukan sekedar benda. Saya meniadakan (mengobjekkan orang dan benda lain). Begitulah kira-kira titik tolak filsafat Sartre.

Untuk memperjelas masalah ini, filusuf bermata juling ini menciptakan dua buah istilah; être-en-soi, dan être-pour-soi. Dengan ini pula ia membedakan cara ber-Adanya manusia dengan cara beradanya benda-benda.

Benda-benda hadir di dunia setelah ditentukan lebih dulu identitas (esensi) nya, sifatnya être-en-soi. Dengan sifatnya yang seperti ini benda-benda tidak mempunyai potensi di luar konsepsi awalnya. Sebuah komputer sebelum dirakit, telah dikonsepsikan sebagai alat mempermudah pekerjaan manusia. Karena itu ia tergeletak begitu saja tanpa kesadaran, tak punya potensi untuk melampui keadaannya yang sekarang; eksistensinya mampat karena esensinya mendahului eksistensi. Sementara manusia, dengan Ada yang bersifat être-pour-soi, eksistensi yang mendahului esensi, selalu punya kapasitas untuk melampaui dirinya saat ini, dan menyadari Ada-nya. Misalnya seorang yang esensinya kita identifikasi sebagai pelajar, ketika ia lulus, maka esensinya sebagai pelajar menjadi tidak relevan lagi. Atau bisa jadi, esok hari ia kedapatan mencuri, maka ia kembali didefinisikan sebagai pencuri. Begitu seterusnya, sampai ia mati.

Salah satu keinginan manusia adalah meng-Ada sebagaimana keberadaan benda-benda. Mempunyai identitas dan esensi yang pasti. Celakanya, manusia memiliki kesadaran yang tak dimiliki benda-benda, karenanya mustahil bagi manusia untuk mempertahankan esensinya terus menerus. Cara beradanya benda tak punya kaitan dengan cara ber-Ada manusia. Sementara manusia sebaliknya, karena sifatnya meniadakan terhadap hal lain, maka ia senantiasa berusaha untuk meniadakan orang dan benda lain. Dari konsepsi inilah Sartre kemudian mendapatkan pendasaran logis terhadap ateismenya.

Ateisme Sarte
Sudah kita bahas di atas tentang hubungan antara dua cara meng-Ada. Ada-nya benda, tidak mempunyai kesadaran, tidak memiliki potensi, dan tak ada hubungannya dengan Ada manusia yang dihayati lewat kesadaran, dan dengan cara meniadakan, atau menjadikan yang lain sebagai benda.

Dalam konsepsi agama -misalnya Islam, Adam (manusia) diciptakan Tuhan dengan mengemban tugas tertentu. Dalam bahasa Sartre sebelum ia bereksistensi, ia lebih dulu direncanakan esensinya. Tapi pada kenyataannya pola esensi yang dimiliki manusia adalah yang sifatnya penuh dengan potensi. Ia tak pernah bisa didefinisikan esensinya hingga kematiannya. Selain itu, karakteristik dasar dari kesadaran manusia adalah keterarahan kepada sesuatu (intensionalitas), sekaligus egois. Kontradiktif dengan konsepsi Tuhan sebagai penentu esensi manusia, atau dengan kata lain membuat manusia menjadi benda.

Sebelum Sartre, dunia juga mengenal Friedrich Nietzsche, sang nihilis Prussia yang kondang dengan frasanya; “Gott ist tot! Gott bleibt tot! Und wir haben ihn getotet.” Bedanya, jika Nietzsche mengumumkan kematian Tuhan dengan tiba-tiba, maka Sartre melakukannya dengan lebih dulu menunjukkan kerancuan logika mengenai keberadaan Tuhan.

Kebebasan manusia
Pertanyaannya, eksistensialisme adalah tradisi filsafat antropologis, yang memusatkan diri pada pertanyaan dan pernyataan tentang manusia. Lalu kenapa dua orang ini perlu repot-repot untuk membunuh Tuhan?


Nietzsche dan Sartre punya jawaban yang hampir mirip; jika Tuhan telah mati, segala nilai-nilai menjadi absurd; tak ada artinya. Karena telah kehilangan landasannya yang suci. Maka manusia bebas untuk berkehendak; merdeka! Kebebasan bagi Sartre adalah kata kunci dalam filsafatnya. Kebebasan bukanlah rahmat bagi manusia, kebebasan juga bukanlah sebuah ciri yang membedakan manusia dengan yang lain, tapi manusia adalah kebebasan itu sendiri. Dengan modus keberadaannya yang bersifat être-pour-soi, manusia bebas untuk mewujudkan apa yang diinginkannya.

Namun kebebasan manusia ini sifatnya ambigu. Di satu sisi hal itu berarti ia berhak untuk mewujudkan kemanusiaannya secara penuh, namun di sisi lain ia membuat kita merasakan kegelisahan. Karena itu filusuf yang juga aktivis kemanusiaan ini pernah berkata dengan sebuah kalimat yang provokatif; “manusia dikutuk dengan kebebasannya!”

Perasaan gelisah ini bagi Sartre merupakan ciri dari kebebasan. Kegelisahan ini timbul dari beban tanggung jawab ketika menyadari bahwa Tuhan tak lagi relevan, dan ia sepenuhnya bebas untuk berkehendak serta berlaku. Dalam merealisasikan kehendak dan perbuatannya ini tak ada lagi landasan baginya, karena nilai-nilai ditentukan oleh dirinya sendiri.

Sebuah alegori yang terkenal dari Sartre untuk menggambarkan kebebasan yang menggelisahkan ini adalah tentang seseorang yang berdiri di tepi jurang yang tinggi dan terjal. Menoleh ke bawah akan menimbulkan rasa cemas, karena membayangkan apa yang akan terjadi. Semuanya tergantung pada diri sendiri, apakah akan terjun, atau mundur untuk menyelamatkan diri. Tak ada orang yang menghalangi untuk terjun, segala yang kita perbuat akan kita pertanggungjawabkan sendiri. Masa depan saya seluruhnya tergantung keputusan saya.

Orang lain adalah neraka bagi diri sendiri
Satu tema yang paling menarik dalam lika-liku pemikiran Sartre adalah tentang relasi antar manusia. Karena kontroversinya, tema ini pula yang paling sering menjadi sasaran dari para kritikusnya.


”Dosa asal saya” kata Sartre, ”adalah adanya orang lain”. Demikian kira- menyimpulkan pandangan Sartre tentang hal ini. Bagi filusuf yang mengagumi ide-idenya Karl Marx ini, hubungan antara aku dengan orang lain, senantiasa berdasarkan konflik. Untuk membahas masalah ini kita harus mengingat kembali dua istilah yang diciptakan oleh Sartre untuk menggambarkan modus ber-Ada; être-en-soi, dan être-pour-soi, karena dari sini muasalnya asumsi Sartre. Mengingat doktrin tersebut, hakikat kesadaran manusia adalah intensionalitas, yakni kesadaran terhadap sesuatu, sekaligus mengobjekkan segala sesuatu. Sekarang bayangkan jika “Aku”, bertemu dengan “Aku-Aku” yang lain, kesadaran yang menegasi, bertemu dengan jenis yang sama.

Dalam hal ini Sartre mengajukan sebuah contoh yang sangat bagus dan terkenal; saya sedang mengintip pada lubang kunci, ketika tiba-tiba mendengar langkah-langkah orang di belakang yang telah memergoki saya. Ketika tengah mengintip, apa yang dilihat adalah dunia yang berpusat pada saya, orang-orang yang tengah saya intip menjadi objek, dan sayalah subjeknya. Sementara, ketika seseorang memergoki saya, mendadak sayalah yang menjadi objek dalam kesadarannya. Mendadak saya didefinisikan (sebagai tukang ngintip, mau tahu urusan orang, dll).

Bahkan menurutnya hubungan antara orang yang saling mencintai adalah relasi yang didasarkan atas sikap saling memperdaya. “Aku berpura-pura menjadi objek cinta pacarku, dan menyerahkan diri sepenuhnya. Padahal, sebenarnya akulah yang mengobjekkan ia dan akulah subjeknya.”

Ada juga kemungkinan lain, misalnya ketika si A, B, dan C saling berselisih. Bisa jadi si A, akan melupakan konfliknya dengan B untuk sementara, dan bersama-sama menjadikan C sebagai objek. Begitulah filusuf ini menjelaskan bagaimana sebuah perkumpulan atau organisasi bisa terbentuk.

(Pernah dipublikasi di http://kacajendela.wordpress.com pada November 2008)