Kurban, Korban, Pengorbanan


Tuhan tiga kali datang dalam mimpi-mimpinya. Ibrahim takjub, tapi ia yakin Ismail, anak yang berpuluh tahun ditunggu lahirnya, anak yang baru lahir di masa tuanya, benar-benar diminta Tuhan. Maka Ibrahim berkali-kali mengasah belati dan meyakinkan hati. Sepertinya ia ingin berkompromi; mengasah belati berkali-kali agar Ismail tak perlu berlama-lama merasakan sakit, meyakinkan hati agar tetap geming dari perintah Tuhannya.

Tentu saja Tuhan tahu apa artinya Ismail bagi Ibrahim, tapi justru karena itu Ia memintanya demi menguji keteguhan hati Ibrahim. Dan kemudian kita tahu ibrahim adalah -meminjam istilah Chairil Anwar- “pemeluk teguh”. Ia membaringkan Ismail di sebuah batu, menyebut nama Tuhannya sambil bergegas menetak leher Ismail.

Tapi tentu saja Tuhan tahu apa arti Ismail bagi Ibrahim, karenanya Ia mendadak mengganti Ismail dengan seekor kibas dan kita pun merayakannya hingga kini. Mungkin kita ikut larut dalam gembira Ibrahim. Atau karena setelah itu kita selalu menyempatkan diri untuk saling berbagi di hari Idul Adha. Mungkin juga kita lega karena bisa jadi ini adalah simbolisasi tidak relevannya lagi ritual pengorbanan manusia untuk Tuhan atau agama.

Bahasa kita mengenal istilah kurban, korban dan pengorbanan. Yang diminta oleh Tuhan kepada Ibrahim adalah pengorban. Dalam kata ini tersirat makna bahwa yang akan dikorbankan mestilah sesuatu yang mempunyai arti. Kita tahu, saat itu Ismail akan menjadi seorang korban dari kehendak Tuhan. Dan memang, dalam proses itu konon Ibrahim sempat berpikir bahwa kecintaannya kepada Ismail yang lama dirindui tak boleh menghalangi garis lurus yang terhubung antara dua titik; dirinya dan Tuhan. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi seandainya Ibrahim menampik kala itu. Tapi yang jelas kita tahu bahwa pengorbanan Ibrahim tidak pernah menjatuhkan korban, yakni Ismail, tapi justru menghasilkan kurban, yakni seekor kibas.

Perubahan antara korban dengan kurban ini sangat penting dalam nilai-nilai kemanusiaan. Dalam kata korban tentu ada manusia yang menderita, yakni sang korban. Itu belum termasuk pihak yang berkorban. Namun ketika kata “korban” berubah menjadi “kurban”, kita tahu, ada derita yang direduksi. Di sini tidak ada lagi manusia yang menjadi korban.

Perintah Tuhan untuk berkurban bisa jadi merupakan sebuah pelajaran etika bagi manusia. Sejak dulu orang tahu bahwa diperlukan pengorbanan untuk menjalani hidup. Namun dari perintah ini kita tahu bahwa pengorbanan tidak mesti menghasilkan korban-korban, pengorbanan tidak simetris dengan pengebirian hak-hak orang lain. Bahkan Tuhan mengajarkan pengorbanan yang menghasilkan kurban, sebuah pengorbanan yang berisi semangat saling berbagi.

Semoga kita bisa saling memberi kurban.
Ciputat, 8 Desember 2008

[Kegiatan] Menulis dan Mengembangkan Mading Pesantren

Jakarta-wahidinstitute.org. Setelah digelar pertama kali pada Agustus 2009, Kelas Menulis Pesantren yang difasilitasi sejumlah generasi muda Nahdlatul Ulama kembali digelar pada 12-14 Desember 2010. Kali ini bertempat di Pesantren Tapak Sunan, Condet Jakarta Timur. Diikuti 30 santriwan dan santriwati yang pertengahan Desember lalu tengah berlibur.  

Pada Agustus 2009 silam, peserta Kelas Menulis dikuti 30-an peserta dari perwakilan empat pesantren di wilayah Depok: Pesantren Al-Karimiyah Sawangan Depok; Pesantren Al-Hamidiyyah Depok, Pesantren Qatrunnada, Citayam, Depok; dan Pesantren Al-Mannar. Tempatnya digelar bergiliran.

Kelas Menulis Tapak Sunan sendiri digelar atas permintaan pengelola pesantren, meski sebelumnya pihak fasilitator berencana mengembangkan pelatihan semacam ini di pesantren lain di Jakarta dan sekitarnya. Pihak Pesantren Tapak Sunan berharap, saat liburan para santri mendapatkan skill tambahan, khususnya  dunia tulis menulis. Pelatihan tersebut juga digelar menjelang lomba membuat majalah dinding (mading) yang akan diikuti perwakilan pesantren pimpinan KH. M. Nuruddin Munawar ini.

Karena itu dalam materi Kelas Menulis, fasilitator banyak pula memberi materi dan praktik mengelola mading. Oleh fasilitator, peserta diminta merancang, membuat dan mengisi mading. Mereka diminta turun lapangan untuk melakukan wawancara dan liputan. Dibagi per kelompok, mereka mewancarai penjual bakso, siomay, atau pedagang es yang mangkal di lingkungan pesantren. Hasil wawancara kemudian didiskusikan antar kelompok dipandu fasilitator, yang ikut memberi masukan mulai dari sudut bidik (angle) yang dipilih, diksi yang dipakai, dan tema yang digarap. 

Tak hanya materi itu yang diberikan. Selain manajemen redaksi, Kelas Menulis juga membekali para peserta tentang materi menulis fiksi seperti cerpen dan puisi. Materi cerpen diberikan Abdullah Alawi, cerpenis yang juga mahasiswa akhir UIN Syarif Hidyatullah Jakarta. Sementara puisi diberikan Ahmad Makki, juga mahasiswa akhir UIN Syarif Hidayatullah. Rencananya hasil puisi dan cerpen itu akan dibukukan sehingga menjadi kenang-kenangan untuk para peserta.

Fasilitator lain yang terlibat dalam pelatihan ini adalah Hamzah Sahal, jurnalis NU Online, Alamsyah M. Dja'far aktivis the Wahid Institute (WI), Nurun Nisa juga dari WI, Imam Malik staf di Sampoerna Foundation, Abi S. Nugroho, mahasiswa Islamic College for Advanced Studies (ICAS) Jakarta, Dedik Priyanto dan Muchlisin, keduanya aktivis Lingkar Studi Piramida Circle dan mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 

Usai Kelas Menulis, pelatihan ini masih akan ditindaklanjuti dengan membuat buletin pesantren yang akan dimulai pertengahan Januari. "Pengasuh juga antusias dengan kegiatan semacam ini dan meminta kepad fasiltator membuat lagi pelatihan media dan penguatan jaringan untuk para guru," kata Abdul Hamid, salah seorang ustad yang mendampingi kegiatan ini.

Kepada wahidinstitute.org, Hamzah Sahal menyatakan akan merencakan membuat pelatihan pelatihan media dan penguatan jaringan yang akan diikuti perwakilan guru-guru pesantren. "Selain Pesantren Tapak Sunan, guru-guru dari pesantren yang santrinya sudah kita latih juga akan kita undang," katanya. 

Kelas Menulis dilakukan secara swadaya. Selain donasi dalam bentuk uang dari berbagai pihak, pelatihan ini juga mendapatkan bantuan buku-buku dari sejumlah penerbit. Di dua pelatihan tersebut, peserta mendapatkan buku bacaan selain materi pelatihan. "Kami berharap kegiatan ini bisa terus diduplikasi untuk daerah-daerah lain," tandas Hamzah. []

The Assassination of Jesse James by the Coward Robert Ford: Misterius dan Intimidatif

Amerika sepertinya cukup akrab dengan tokoh-tokoh semacam Robin Hood; perampok yang populer dan disukai masyarakat. Dari kancah film kita mengetahui sosok-sosok "penjahat yang disukai" seperti John Dilinger yang paling tidak telah dua kali difilmkan dengan judul Dilinger pada era 70-an (saya lupa tepatnya), dan Public Enemy (2009) yang diramaikan Johnny Depp dan Christian Bale. Selain Dilinger, masih ada nama lain yang tidak kalah "harum", yakni Jesse James. Setahu saya sudah ada tiga biopik mengenai tokoh ini, yakni Jesse James tahun 1927 dan di-remade tahun 1939, serta film yang dikomandani sutradara Andrew Dominik ini, The Assassination of Jesse James by the Coward Robert Ford.

Film ini menceritakan periode terakhir kehidupan Jesse James (Brad Pitt), terfokus pada dua gagasan; kedigjayaan Jesse James, serta pemujaan Robert "Bob" Ford (Casey Affleck) terhadap sosok Jesse James. Sejak awal film ini menunjukkan betapa inginnya Bob masuk ke dalam gerombolan perampok dengan pimpinan Jesse James, yang digambarkan sebagai sosok misterius tak terduga, dengan intuisi luar biasa (entah bagaimana, ia selalu tahu kapan ia akan diburu, serta siapa anggota kelompoknya yang berlaku curang).

Di sini kisah hidup Jesse James dipresentasikan dengan cara muram. Penggunaan warna sepia yang dominan menegaskan hal tersebut. Ketegangan demi ketegangan dibangun dengan cerdik, bukan melalui todongan atau adu senjata, namun melalui dialog serta perilaku Jesse James yang tak terduga. Dialog-dialog yang dibangun betul-betul menunjukkan superioritas Jesse James. Penonton seolah-olah senantiasa diminta bersiap, sebab ia bisa mencabut pistolnya kapan saja.

Pada satu adegan, misalnya, ia bercerita kepada Charley (Sam Rockwell), kakak dari Bob, tentang pembunuhan yang dilakukannya terhadap seorang famili dekat Charley. Charley yang juga terlibat dalam terbunuhnya seorang famili Jesse mendadak tercekat dan gugup ketika Jesse mengatakan; "apakah kau mau bertukar cerita denganku" dengan raut muka yang yakin dan senyum ambigu.

Di adegan lain, dalam gelapnya tengah malam, Bob sedang menenangkan Charley yang menangis ketakutan membayangkan bagaimana nasib mereka berdua di tangan Jesse James. Ketika Bob pergi dan Charley agak tenang, mendadak dari kegelapan seseorang berucap "tidurlah, Charley".

Fase akhir film yang terfokus pada Jesse James, Charley dan Bob, benar-benar menggelisahkan. Bersama penonton, Bob dan Charley yang bersekongkol dengan polisi untuk membunuh Jesse James akan dibuat seperti cacing kepanasan. Apapun yang mereka rencanakan Jesse James seolah mengetahuinya. Ketenangan Jesse James membuat adegan demi adegan kian tak pasti ujungnya. Menurut saya karakter seperti inilah yang menjadi daya tarik utama film ini. Ketimbang menggambarkan Jesse laiknya koboy tanpa tanding, penonton justru diajak menyimpulkan bahwa kedigjayaan seorang pendekar sekelas Jesse James dibangun melalui karakternya yang kuat, dengan atau tanpa senjata.

Menurut saya film ini bisa dikatakan sebagai salah satu penampilan terbaik Brad Pitt. Ia berhasil membangun sosok tenang dan meyakinkan sekaligus mengintimidasi dan mematikan, meski jarang mencabut senjata. Saya cukup heran mengetahui ia bahkan tak dipertimbangkan sebagai nominasi Oscar untuk penampilan cemerlangnya ini. Penampilan Casey Affleck pun tak mengecewakan. Saya yakin, Ben Affleck, saudaranya yang lebih tenar, akan iri melihat penampilannya.

Andrew Dominik berhasil mengisahkan perkembangan karakter Bob yang tadinya begitu mengidolakan Jesse, namun akhirnya bersedia dibayar untuk membunuh idolanya, melalui peristiwa demi peristiwa yang membuatnya disudutkan oleh dua pilihan sulit; dibunuh, atau membunuh Jesse James. Ambiguitas ambisi Bob untuk menyamai, bahkan melampaui kehebatan Jesse, juga memberi andil dalam proses ini.

Pada akhirnya, Bob dan Charley bersaudara memang sukses membunuh Jesse, namun Andrew Dominik berhasil menyugesti penonton bahwa reputasi dan superioritas Jesse tak terusik sedikit pun. Beberapa detik menjelang kematiannya Jesse dengan sukarela melepas senjatanya dengan ekspresi seolah dia tahu itulah saat yang tepat baginya untuk mati. Nasib dan opini masyarakat kepada Bob dan Charlie pasca kematian Jesse justru kian menegaskan kehebatan mantan komandan mereka itu.