Disorientasi Nilai-nilai Politik Kita


Politik adalah sebuah -dan satu-satunya- medium untuk mewadahi berbagai usaha yang bertujuan untuk mengatur hidup bernegara melalui format-format tertentu. Format ini hadir dalam bentuk-bentuk seperti demokrasi, teokrasi, fasisme dan lainnya. Dengan memahaminya seperti ini, kita mesti percaya bahwa pada dasarnya politik bernilai baik, karena jika tidak, berarti kita tidak percaya terhadap segala usaha yang ingin menghadirkan kebaikan bagi kehidupan suatu negara.

Namun kenyataannya masyarakat masih sering memandang politik dalam kerangka moralitas tertentu melulu, yakni bersifat buruk dan cenderung dipenuhi intrik licik dan muslihat kotor. Dalam hal ini kita melulu mengartikan politik secara machiavellian, yakni cenderung mengafirmasi segala cara untuk mengakuisisi kekuasaan. Pada level ini disorientasi nilai-nilai politik terjadi pada masyarakat. Maraknya aksi-aksi negatif semacam praktik politik uang membuktikan hal ini.


Praktik politik uang menyaratkan terjadinya komunikasi antara konstituen dengan pelaku politik. Dalam hal ini terjadi pertukaran antara dua hal yang tidak sejajar, yakni pilihan konstituen dengan sejumlah uang. Dikatakan tidak sejajar karena pilihan konstituen semestinya didasarkan atas sebuah kepercayaan, entah atas dasar pembuktian sebelumnya, atau atas dasar kemampuan seorang politikus untuk mempengaruhi orang lain, dan seharusnya entitas ini tak berhubungan dengan sejumlah uang.

Namun kenyataan ini juga tak lepas dari tanggung jawab para pelaku politik, karena: Pertama, tidak adanya pendidikan politik yang memadai terhadap seluruh warga negara. Pihak yang berkewajiban melakukan aktivitas ini adalah partai politik dan pemerintah yang notabene berasal dari partai politik. Kedua, sikap apriori masyarakat yang muncul sebagai respon dari minimnya tanggung jawab para politikus yang mereka pilih dan pada akhirnya menumbuhkan ilusi seakan-akan konstalasi politik tidak ada kaitannya dengan perbaikan kesejahteraan dan tingkat kehidupan masyarakat. Ilusi inilah yang secara akumulatif memicu sikap apriori masyarakat yang disebut di atas, yang menimbulkan anggapan bahwa hak pilih yang mereka sandang tidak bernilai guna, karena apa pun pilihan mereka, kenyataan hidup yang sulit tidak akan berubah. Di titik ini kita bisa mengatakan bahwa disorientasi nilai-nilai juga terjadi pada kalangan politikus.

Dulu kita masih sering mengaitkan istilah poltikus dengan istilah negarawan yang digunakan untuk menyebut politikus par excellence yang berjasa besar bagi negerinya, sebagaimana dilekatkan pada Bung Karno dan Bung Hatta. Istilah negarawan menyandang nilai-nilai moralitas ideal bagi seorang politikus. Artinya, jika kita memahami politik sebagaimana dibahas di awal, maka prestasi tertinggi bagi seorang politikus adalah gelar negarawan. Saat ini saya melihat kita akan kesulitan untuk mengaitkan dua istilah ini disematkan kepada para politikus kita. Alih-alih mencoba mengimplementasikan gagasan masing-masing dalam upaya perbaikan bangsa, para politikus terlihat lebih sibuk menjalankan praktik machiavellian tanpa orientasi dan visi yang jelas tentang kenegaraan.

Kenyataan banyaknya partai yang menjadi kontestan pemilu 2009 memang cukup membingungkan berbagai pihak. Tapi dalam pandangan saya kebingungan ini bukan ditimbulkan oleh kesulitan masyarakat untuk menyeleksi gagasan terbaik yang ditawarkan oleh masing partai tersebut, melainkan oleh minimnya keberartian peran partai-partai tersebut dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Di negara ini kehadiran partai-partai dalam kenyataan sehari-hari masih sering diartikan sebagai parade logo, calon dan slogan banal di atribut-atribut yang diletakkan di tempat-tampat umum. Tidak bisa dibantah, kadang memang ada gerakan-gerakan kongkret seperti bakti sosial yang digagas oleh partai-partai tertentu, namun masih bersifat spasial, temporal dan insidental. Masalah ini belum dijumlah dengan perilaku kader-kader partai yang menduduki jabatan publik dan sering menghasilkan nilai yang minor dalam pandangan masyarakat.

Pada pemilu Amerika beberapa waktu lalu, kita melihat adu gagasan yang berlangsung sengit antara dua pandangan politik mayoritas di negeri Abang Sam tersebut, yakni kubu Demokrat dan kubu Republik, yang masing-masing diwakili oleh Obama dan McCain. Dalam banyak kesempatan keduanya beradu argumen mengenai isu-isu populer seperti ekonomi, kesehatan, sikap luar negeri dan seterusnya, sampai ke detail-detail pelaksanannya. Dengan begitu konsep mereka telah diuji berkali-kali oleh berbagai pihak, paling tidak dalam tataran teoretis.

Momen-momen yang bisa disaksikan secara gamblang di beberapa stasiun televisi kita tersebut seharusnya menjadi referensi yang baik bagi para politikus kita yang lebih sering berbicara abstrak dengan jargon-jargon yang telah aus karena jutaan kali diulang. Karena, meskipun baru pada tingkatan retorika, kemampuan mereka untuk menjelaskan ide masing-masing secara detail dan koheren menggambarkan bahwa mereka bergelut intens dengan isu-isu tersebut. Untuk mengalami pergulatan semacam ini orang diharuskan untuk masuk ke permasalahan nyata yang betul-betul dialami. Dan, sebagaimana adagium lama mengatakan bahwa pengalaman adalah guru terbaik, dengan mengalami, paling tidak politikus kita memiliki kesempatan untuk melakukan orientasi ulang terhadap nilai dan konsepsi politik yang selama ini mereka jalani.
Ciputat, 4 Januari 2008

(pernah dipublikasi di http:// kacajendela.wordpress.com pada Desember 2008)

Related Posts by Categories



Widget by Hoctro | Jack Book

2 komentar:

  1. intinya di Indonesia mungkin politik itu diperlukan, sebusuk apa pun itu

    BalasHapus
  2. @Rahmat: Saya kira di negara manapun politik itu bukan hanya diperlukan, tapi sudah inheren. Soalnya adalah fakta-fakta yang membuat rakyat Indonesia menganggap bahwa politik itu selalu buruk. Salam kenal, terima kasih mau berkunjung.

    BalasHapus