Menyoal Syair dan Tema Lagu-lagu Indonesia

Nada-nada yang minor
Lagu perselingkuhan
Atas nama pasar semuanya begitu klise
Elegi patah hati
Ode pengusir rindu
Atas nama pasar semuanya begitu banal

Reff: Lagu cinta melulu
Kita memang benar-benar melayu
Suka mendayu-dayu
Apa memang karena kuping melayu
Suka yang sendu-sendu
Lagu cinta melulu
.
(Cinta Melulu, Efek Rumah Kaca)

Beberapa waktu lalu saya dan seorang teman yang tengah menyusun skripsi tentang proses kreatif Ebiet G. Ade, mencoba membandingkan kondisi industri musik di Indonesia saat ini dengan kondisi di ruang yang sama pada dua dekade sebelumnya, yakni 80-an dan 90-an. Berawal dari situ saya ingin membahas dua sisi dari musik-musik industri di negeri kita, yakni syair dan tema musik berdasar kecenderungan dunia musik industri di negeri kita saat ini. Pada tulisan ini saya memfokuskan bidikan pada grup musik karena jenis inilah yang merajai rimba permusikan Indonesia pada dekade 2000-an, meskipun di beberapa titik saya masih menyebut beberapa nama solois, dan tak menutup kemungkinan pembicaraan ini relevan untuk jenis tersebut.

Dua hal yang mesti saya tegaskan sebelumnya adalah, pembicaraan musik di sini saya batasi pada wilayah musik industri saja, yakni keseluruhan lagu-lagu yang dihasilkan oleh major label yang biasanya secara politis berhadapan dengan indi label. Saya tidak memakai istilah “pop” karena sangat berasosiasi dengan aliran musik. Selain itu, karena beberapa hal saya tidak menyertakan aliran dangdut dan lagu-lagu religi dalam bahasan ini, karena untuk keduanya saya kira akan memerlukan bahasan khusus. Khusus untuk lagu-lagu religi populer, saat ini saya memandangnya sekadar fenomena kelatahan industri pada momen tertentu saja.
Sebelum masuk ke dalam wilayah utama pembicaraan, ada baiknya kita membahas dulu beberapa hal mendasar dalam musik, yang nantinya akan dipakai dalam tulisan ini.

Unsur intrinsik dan ekstrinsik
Sebagaimana dalam teks sastra, sebuah karya musik mempunyai dua unsur, yakni unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik di dalamnya. Unsur intrinsik terdiri dari tempo dan nada, sementara unsur ekstrinsiknya adalah syair serta karakter bunyi yang dihasilkan (sound).

Unsur-unsur ekstrinsik berfungsi sebagai penguat dan pendukung tema musik yang dihasilkan oleh paduan unsur intrinsik. Pilihan karakter bunyi bisa mengajak orang untuk mengimajinasikan hal-hal tertentu. Misalnya pilihan nada yang dibalut oleh karakter bunyi gitar low gain yang dihasilkan oleh Joe Satriani, bisa menghadirkan sensasi layaknya rintihan orang yang murung. Sementara di lain tempat ia bisa menjelma seindah dongeng yang dibacakan ibu menjelang tidur. Sedangkan lirik adalah sebuah medium yang membuat gagasan-gagasan abstrak seperti keindahan, perlawanan, putus cinta, dan lain sebagainya, yang ingin disampaikan pemusik bisa mencapai gambaran mental yang kongkret di benak pendengar.

Sementara istilah tema dalam musik menunjuk pada paduan dari keseluruhan unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam sebuah lagu sehingga membentuk nuansa dan asosiasi tertentu. Artinya, minus lirik dan pilihan karakter bunyi yang macam-macam, sebuah lagu bisa kita nikmati sebagai suatu orkestrasi nada yang menyarankan kepada nuansa dan asosiasi tertentu.

Dalam sebuah gambaran ideal, musisi atau sebuah grup musik adalah jenius yang bisa memadukan semua unsur menjadi sebuah tema yang saling koheren dan saling bertaut tanpa bisa dipisahkan satu sama lain dalam sebuah lagu, sehingga jika kita meniadakan satu unsur saja, dan di bagian yang mana saja di sebuah lagu, maka hasilnya akan menjadi lain secara estetis. Saya kira tak akan ada yang mendebat jika saya mengajukan lagu Bohemian Rhapsody dari Queen sebagai contoh

Syair
Goenawan Mohamad pernah menyoroti penyempitan kekayaan berbahasa yang terjadi di kalangan sastrawan yang generasinya tak jauh dari era reformasi 1998. Kondisi yang tak jauh berbeda menurut saya juga terjadi dalam kekayaan berbahasa para musikus yang muncul di era 2000-an. Dalam hal ini saya melihat paling tidak ada dua kecenderungan mencolok yang saya rasakan dalam wilayah penulisan syair lagu-lagu Indonesia.

Pertama, seperti yang digugat oleh Efek Rumah Kaca –kerap disebut ERK-dalam Cinta Melulu yang syairnya saya muat di atas, topik cinta begitu mendominasi dalam syair lagu Indonesia dekade 2000-an. Hal tersebut bukan berarti semua lagu berbicara tentang cinta, namun tingkat variasi topik yang dibicarakan dalam syair-syair lagu industri di Indonesia sangat minim. Hal yang kurang lebih sama terjadi jika yang dibicarakan adalah objek cintanya.

Memang pada dekade 80-an dan 90-an pun topik yang mendominasi penulisan syair lagu adalah soal-soal cinta, namun kita masih dengan mudah menemukan variasi lain. Saat itu masih ada nama-nama seperti Iwan Fals, Ebiet G. Ade, God Bless atau Gong 2000, Boomerang, /rif, Dewa19, dan lainnya. Dari mereka kita bisa mendengar berbagai macam hal, dari cerita tentang sebuah tempat, perjalanan, ideologi, bencana, politik, kuasa, balada orang-orang kecil, tokoh dan pahlawan, alam, dan seterusnya.

Kini kita memang masih bisa menyebut beberapa lagu dekade 2000-an yang topiknya bukan cinta; -terakhir saya dengar- Kepompong (Sind3ntosca), Bendera (Cokelat), Indonesia Saja (Dewa19), Sang Penghibur (Padi), Slank di banyak lagunya, dan lain sebagainya, namun saya kira jumlahnya masih sangat sedikit, baik dalam hal jumlah topik, maupun jumlah lagu. Selain itu pelakunya pun kebanyakan muncul sejak era sebelum 2000-an.

Bukan fakta aneh memang, jika topik cinta merupakan kecenderungan yang paling populer dalam industri musik. Di negara-negara yang industri musiknya sudah ekspansi ke mana-mana seperti Amerika dan Inggris pun topik ini menjadi andalan. Namun di tempat yang sama kita juga masih dapat melihat kompleksitas pembicaraan di syair lagu-lagunya. Tentu hal ini mengindikasikan juga jumlah lagu bersyair non cinta.
Kedua, kualitas syair yang ditulis para musikus yang menurun dewasa ini. Jika dalam bentuk idealnya sebuah syair adalah sebagaimana teks sastra, maka paling tidak ia mesti memiliki metafor-metafor khas yang orisinal, yang dalam pandangan Paul Ricoeur hanya bisa dihasilkan lewat interaksi antara unsur-unsur dalam teks, dengan memperkaya unsur-unsur perumpamaan, ambivalensi, konotasi, dan semacamnya. Tentu saja hal ini menyaratkan pergulatan yang intens antara pengarang dengan bahasa dan realitasnya.

Pada dekade-dekade sebelumnya kita masih punya Katon dan Kla Project-nya yang mengangkat kata ”nelangsa” menjadi baku, dan mampu menghasilkan ungkapan seperti ”bulan merah jambu”. Ada juga Iwan Fals yang dengan gaya realisme yang kuat bisa membuat baris seperti ”pukul tiga sore hari, di jalan yang belum jadi” menjadi lagu yang merdu, atau di saat lain dengan berani ia mengibaratkan keindahan mata seorang perempuan dengan bola ping-pong. Kemampuan yang sama dimiliki oleh Dewa19 yang memakai metafor Siti Nurbaya untuk mengritik materialistiknya kaum tua.

Di saat ini kita memang masih punya Letto yang di beberapa tempat mampu menulis semacam ”terbawa sungai ke ujung mata”, Padi yang dengan baik menggambarkan mahadewi dengan metafora bintang, Slank yang hingga kini masih bisa eksis dengan gaya bahasa realisnya yang slengean, serta segelintir lainnya. Tapi sekali lagi kebanyakan dari gelintir ini adalah orang-orang lama yang muncul pra dekade 2000-an.

Dari lagu ke lagu kita terus-menerus disajikan kata-kata seperti: rindu, cinta, memelukmu, menggapaimu, sepi, dalam hati, meruntuhkan hati, sepi sendiri, tinggalkan dirimu, dan semacamnya yang sudah menjadi klise. Sebuah surat kabar bahkan dengan ”kejam” mengatakanya sebagai kata-kata yang didaur ulang dari sampah industrialisasi. Dalam keadaan ini sulit –kalau bukan mustahil- bagi kita untuk menemukan ungkapan-ungkapan mengejutkan yang lebih menyentuh jika hampir semua syair lagu hanyalah reproduksi dari syair sebelumnya. Saya tidak ingin mengidealisasi syair-syair lagu menjadi seperti teks-teks sastra, namun membiarkan syair lagu menjadi tak ubahnya slogan-slogan kering yang terus di-copy-paste juga tidak lebih baik. Faktanya hal inilah yang terjadi pada syair lagu-lagu kita saat ini.

Tema musik
Tak jelas apa yang dimaksud ERK dengan kata “melayu” dalam lagu Cinta Melulu, tapi sebagaimana syair di atas, mereka mengasosiasikannya dengan tempo yang mendayu-dayu, nuansa lagu yang sendu, dan syair yang membicarakan “cinta melulu”. Memang dalam dunia musik kita sering disebut istilah melayu untuk mengidentifikasi aliran grup musik yang mengadopsi nada-nada khas melayu (biasanya paling jelas terdengar dalam legatto-nya), seperti Kangen band, Wali, Radja, akhir-akhir ini Ungu, dan lain sebagainya.

Kita bisa berdebat tentang definisi dari “melayu” yang dimaksud oleh ERK. Namun kita tidak bisa mungkir dengan fakta yang ditunjukkan dalam lagu tersebut, yakni maraknya tema musik yang dihasilkan dari pertautan ketiga kategori, yakni antara tempo mendayu-dayu, nuansa sendu yang biasanya dihasilkan dari jalur nada minor, dan syairnya yang membicarakan cinta melulu. Coba saja tengok video klip dan iklan musik yang ditayangkan di berbagai saluran televisi kita. Dapat dikatakan bahwa sebagaimana yang terjadi pada lirik-liriknya, lagu-lagu di Indonesia cenderung mengulang-ulang tema yang sama dari lagu-ke lagu. Baik, untuk menyederhanakan, dalam tulisan ini saya akan menyebutnya sebagai tema konvensional.
Sebagaimana topik cinta, dalam konteks musik industri di belahan dunia mana pun dominasi nada-nada yang easy listening memang sudah menjadi kelaziman tertentu. Namun untuk konteks Indonesia, variasi yang dihasilkan antara satu band dengan band yang lain bisa dikatakan amat minim. Karakter bunyi yang dipilih oleh masing-masing grup musik memang berbeda, namun secara intrinsik tidak banyak perbedaan yang dihasilkan.

Di luar itu memang masih bisa diajukan beberapa nama grup musik industri yang meski memiliki lagu-lagu bertema konvensional tapi tidak dominan dan tidak cenderung mengulang. Bisa disebut di antaranya, Dewa19, Cokelat, Nidji, Drive, dan beberapa lainnya. Namun dibandingkan dengan dominasi tema konvensional angkanya tetap tidak proporsional.

Sebagaimana halnya copy-paste topik syair dan ungkapan, pengulangan terus-menerus satu tema juga memang tidak selalu sejajar dengan penurunan kualitas. Namun juga bukan berarti terjaganya kualitas musik Indonesia, apalagi peningkatan.

Faktor-faktor penyebab
Memang tidak ada yang salah jika orang menyukai lagu-lagu sendu, nada-nada melayu, atau syair-syair bertopik cinta. Bahkan bukan tidak mungkin jika intensifikasi nada-nada melayu mampu menghasilkan karakter musik yang khas sebagaimana dilakukan oleh The Corrs. Atau bahkan bisa menjadi mode tertentu seperti British. Namun hal ini tidak bisa tiba-tiba muncul hanya karena setiap hari orang dicekoki lagu-lagu yang monoton. Justru pada titik inilah menurut saya masalahnya.

Fakta rendahnya posisi tawar para musikus, terutama para pemula, di depan perusahaan rekaman sudah bukan rahasia lagi bagi orang-orang yang bergelut di dunia musik. Hal ini memang bukan hal yang baru terjadi, namun sepertinya kian menguat akhir-akhir ini. Kabar burung tentang perusahaan rekaman sering mengubah nama grup musik debutan, grup musik yang dipaksa mengganti personel untuk bisa rekaman, dan lain sebagainya, sudah seperti berita yang dipercayai banyak orang. Belum lagi soal-soal seperti royalti, angka share hasil penjualan, serta link-link gelap antara perusahaan rekaman dengan pembajak.

Kondisi yang tak padan ini mengakibatkan tiarapnya para musikus, terutama grup-grup musik pemula. Sadar atau tidak kebanyakan dari mereka akan melakukan sensor imanen terhadap karya-karyanya untuk tetap berada di jalur aman, yang berarti hanya memakai bentuk konvensional dalam karya, asalkan bisa mendapat restu perusahaan rekaman. Coba hitung berapa banyak orang yang bergelut dalam dunia musik tapi tidak ingin terkenal dan laku karyanya? Hal-hal seperti ini tentu saja akan menghambat mental eksperimentasi yang mestinya inheren dalam diri para seniman. Dengan sistem seperti ini kita tentu saja sulit untuk membayangkan grup musik kita sampai melakukan riset seperti tinggal beberapa lama di suatu negara untuk mendapat nuansa baru dalam karyanya, sebagaimana dilakukan oleh Metallica sebelum membuat Black Album.

Hegemoni para perusahaan rekaman juga sejalan dengan kebijakan industri televisi yang meminimalisasi akses pemirsanya untuk menikmati musik dari negeri lain. Hitung saja berapa banyak stasiun tv yang menayangkan klip luar negeri, meski pada kenyataannya tidak sedikit penikmat musik di Indonesia yang akrab dengan Dream Theater, Incubus, Radiohead, The Rasmus, Hoobastank, Coldplay, SOAD, dan seterusnya. Memang –terutama- pada era ini masih ada media lain seperti internet dan radio yang menyediakan akses untuk menikmati musik mancanegara, namun kita tak bisa mungkir jika mayoritas orang Indonesia yang punya waktu luang di rumah menghabiskan sebagian besar privilage-nya itu dengan menganga di depan televisi.

Usaha untuk membatasi akses kepada musik mancanegara ini bagi saya tak sejalan sama sekali jika alasannya untuk mencintai karya bangsa sendiri. Karena bagaimanapun sebuah kebudayaan hanya mungkin berkembang melalui proses akumulasi yang terjadi lewat proses persentuhan dengan entitas dan kebudayaan lain atau persilangan budaya, seperti diistilahkan Denys Lombard. Pembatasan akses seperti ini dalam pandangan saya justru bisa memicu budaya ”nasionalisasi” lagu atau potongan lagu asing ke dalam karya yang tentu saja diklaim sebagai karya anak bangsa, sebagaimana bisa diindikasikan dalam beberapa lagu di tanah air. Hal ini dimungkinkan karena faktor terbatasnya akses sebagaimana disebut di atas, sehingga sensitivitas dan pengetahuan mayoritas pendengar musik pun terbatas.

Alasan permintaan pasar sebagai argumen untuk membatasi akses pemirsa lebih tidak bisa diterima lagi. Apa itu pasar? Siapa itu pasar? Pada akhirnya kata abstrak ini hanyalah ruang tempat bertarungnya jejaring kuasa dalam mempromosikan budaya massa. Pelakunya adalah para penjaja citraan yang menentukan apa yang kita butuhkan dan tidak, apa yang tengah jadi mode atau tidak, bahkan apa yang gila dengan yang normal. Pasar hanyalah sebuah hiperrealitas tempat para penyembah mode mengonsumsi sampai mabuk. Bagaimana jika kita memahami pasar lebih sebagai ruang tempat para pengusaha rekaman menghipnotis konsumen dengan citraan, ketimbang sebuah ruang demokratis di mana permintaan terbanyaklah yang paling benar?

Sementara kategori easy listening bagi saya sama abstraknya dengan kata ”pasar”. Memang benar jika ada alur nada yang begitu populer sehingga telah jutaan kali diulang, namun begitu sebagaimana hasrat, pasar, dan mode, kategori-kategori konvensional seperti ini bukanlah sunatullah alias order of nature, lebih baik jika ia dipahami sebagai sebuah entitas yang secara akumulatif dilembagakan seiring perjalanan sejarah.
Dalam kondisi begini kita akan miris membayangkan nasib para eksperimentalis yang menjunjung tinggi kreativitas dan tantangan dalam berkarya. Padahal banyak dari karya mereka yang masih bisa dicerna oleh ”kuping awam” asal mau sedikit berkompromi. Karya-karya ERK atau Pendulum, misalnya. Memang banyak juga para eksperimentalis ini yang pangsa pasarnya di luar negeri dan bisa kaya, namun yang saya bicarakan ini bukan persoalan nominal penjualan album, tapi penghargaan masyarakat terhadap senimannya.

Namun selain perusahaan rekaman, para musikusnya sendiri pun bisa jadi punya andil dalam kondisi ini. Permasalahan minimnya variasi topik dan ekperimentasi bahasa, misalnya. Hal ini menurut saya berbanding lurus dengan minimnya perhatian yang diberikan para pelaku musik kepada hal-hal lain. Bahwa setiap musikus di Indonesia hidup sebagaimana orang lain, yakni punya pengalaman keseharian yang kompleks dan kongkret, itu benar. Tapi kita bisa sangsi jika ditanyakan apakah mereka menghayati segala kompleksitas hidupnya sebagai seorang seniman. Karena ada beberapa alasan yang membuat orang enggan atau tidak membicarakan topik tertentu, pertama ia membenci atau mempunyai pengalaman buruk tertentu dengan topik tersebut, dan kedua ia tidak mengerti atau tidak punya perhatian terhadap topik tersebut.

Dalam hal tema, kita bisa melihat fenomena Nidji yang sukses menerobos kelaziman dengan singkat. Fenomena ini bagi saya mengisyaratkan paling tidak dua hal. Pertama, hal ini adalah sebuah sinyal penyemangat bagi grup-grup musik yang tiarap terlalu rendah di depan sensor perusahaan rekaman. Kedua, betapa lenturnya kategori pasar dan easy listening.

Paduan dari faktor-faktor ini pada akhirnya menjadi sebuah lingkaran sempurna, entah di mana awal dan akhirnya, dan mungkin harus menunggu citraan dan mode baru untuk bisa berubah.
Ada yang mau menambah?
Ciputat, 13 November 2008

Related Posts by Categories



Widget by Hoctro | Jack Book

2 komentar:

  1. Sbg perbandingan, gw juga ada nulis ttg perkembangan musik Indonesia kini, kaitannya dgn musik Melayu, tapi dari sisi yg mungkin agak berbeda dari yg loe tulis. Ini Link tulisan gw itu: http://hanafimohan.blogspot.com/2009/11/musik-senandong-melayu.html

    BalasHapus