Pilpres, Boediono dan pusaran ide-ide


Masuknya nama Boediono sebagai kandidat cawapres pendamping Susilo Bambang Yudhoyono pada awalnya cukup mengejutkan berbagai pihak. Sosok kalem ini lebih dikenal sebagai seorang ekonom yang tenggelam dalam dunia akademis dan masalah-masalah perekonomian bangsa ketimbang sebagai seorang politikus. Munculnya nama ini bahkan sempat mengancam koalisi yang sebelumnya telah dibangun Partai Demokrat.

Namun di luar pro-kontra tersebut, dalam pandangan saya keikutsertaan Boediono dalam kompetisi pilpres kali ini seharusnya bisa menjadi alat pemicu yang menarik dalam hal perdebatan ide di antara masing-masing pasangan kandidat presiden-wakil presiden.

Kita tahu bahwa sebagai seorang ekonom, Boediono adalah sosok yang mewakili kelompok pro IMF, bersama sejawatnya, Sri Mulyani. Kelompok ini seringkali disebut sebagai neo liberalisme atau neolib. Jika kita masih mau percaya dengan platform politikus dan partainya di Indonesia, maka kehadiran sosok mantan Gubernur BI ini merupakan tandingan sepadan bagi ide-ide kerakyatan yang digalang oleh pasangan Mega-Prabowo, serta isu kemandirian yang diusung Jk-Wiranto. Dalam anggapan saya, jika pertarungan ide ini terjadi secara normal, maka ini merupakan pendidikan politik yang sangat berharga bagi seluruh rakyat Indonesia.

Jika kita bandingkan dalam kondisi yang sama pada kampanye pilpres di Amerika beberapa waktu lalu, di sana dapat dilihat bahwa “pertarungan” Obama versus McCain bukanlah sekadar pertarungan jaringan pendukung dan kekuatan politik tertentu, tapi juga pergulatan ide-ide yang bercita-cita sama, namun memilih langkah yang berbeda.

Obama yang membawa identitas “the other” di Amerika, maju dengan ide-ide perubahan yang disambut positif oleh sebagian besar penduduk dunia. Sementara McCain tetap percaya bahwa pendiriannya, betapapun terlihat angkuh pada era seperti ini, merupakan alternatif terbaik. Perbedaan kedua pandangan ini ikut merembes juga ke dalam wacan-wacana lain, seperti ekonomi, politik luar negeri, bahkan kebijakan terhadap energi.

Saya tidak tahu mengapa di Indonesia kondisinya jadi berbeda. Boediono yang seharusnya bisa jadi suara lain, di tengah kebosanan kita mendengar para politikus menyebut istilah “rakyat kecil” berjuta kali, ternyata malah tenggelam di bawah bayang-bayang Yudhoyono yang masih mengandalkan karisma dan normativitas dalam berpolitik. Alih-alih menjernihkan isu neolib tersebut, sebagaimana layaknya istilah tersebut diposisikan dalam ilmu pengetahuan, pasangan SBY-Boediono dan timnya malah menanggapi isu tersebut secara normatif,  seolah-olah itu merupakan fitnah yang imoral.

Secara normal, ketika lawan politiknya memukul dengan sentimen anti neolib seharusnya Boediono menjelaskan kepada publik, kenapa ia merasa perlu meyakini pandangan yang dicap lawannya sebagai neolib, serta mengapa itu ia terapkan selama menduduki berbagai jabatan publik di negeri ini. Saya membandingkan ini dengan kasus McCain yang dicecar Obama sebagai penerus kebijakan Bush. McCain dalam hal ini tidak memberi bantahan, namun menjelaskan mengapa baginya kebijakan-kebijakan seperti yang dipraktikkan oleh Bush adalah pilihan logis.

Penolakan Boediono terhadap klaim neolib terhadap dirinya sebetulnya terlihat lucu dan terkesan membodoh-bodohi konstituen. Kebijakan-kebijakannya ketika memegang jabatan publik memang mengesahkan cap tersebut. Sebut saja praktik privatisasi BUMN yang “disponsorinya”. Bahkan ia memakai isu ini sebagai materi kampanye. Sebagai seorang ilmuwan, Boediono layaknya menjelaskan apa maksud dari cap neolib tersebut kepada masyarakat. Sementara sebagai seorang politikus Boediono mestinya transparan terhadap pendiriannya yang tentu saja ia pilih melalui penalaran logis.

Mungkin sikap yang diambil kubu SBY-Boediono ini merupakan kebijakan politis yang lebih mementingkan pencitraan, sebagaimana pasangan ini sibuk mempromosikan diri sebagai santun dan bijaksana. Namun pencitraan tidaklah mesti mengandalkan nilai-nilai moralitas yang dalam politik malah seringkali dipakai buat mengompensasi kekurangan-kekurang yang tak mampu dijelaskan.

Berkaca dari keberhasilan Obama sebagai sebuah kasus kemenangan pencitraan atas kekuatan status quo, presiden kulit hitam pertama di Amerika ini tidak menjadikan landasan moralitas sebagai modalnya merangkul konstituen. Isu perubahan yang dibawanya merupakan ide yang bisa dipresentasikan dengan logis.

Siapa yang berani mengatakan bahwa simpati yang didapat oleh Obama berasal dari warna kulitnya? Bahkan dengan begitu ia menentang arus mitos tradisi presiden Amerika yang biasanya harus memiliki tiga unsur WASP, yakni white (kulit putih), Aglo Saxon (keturunan Eropa), dan Protestan. Dengan kata lain, ketika mencalonkan diri sebagai presiden, pria yang pernah disapa Barry ini tengah mengritik moralitas tua Amerika.

Mestinya nilai-nilai seperti inilah yang dipelajari oleh pasangan SBY-Boediono beserta tim suksesnya dari kasus pemilu Amerika, bukan hanya meniru warna, nama partai dan cara inaugurasinya saja.

(pernah dipublikasi di http://kacajendela.wordpress.com pada Juni 2009)

Related Posts by Categories



Widget by Hoctro | Jack Book

Tidak ada komentar:

Posting Komentar