Absennya Refleksi dalam Karya Musik Industri Kita


Heidegger mengatakan bahwa Dasein (manusia) adalah makhluk yang pada hakikatnya cenderung larut dalam banalitas kehidupan yang membuatnya menjalani dan memandang kenyataan sekadar sebuah rutinitas linier yang berkesinambungan. Barulah pada saat dihadapkan pada pilihan yang menentukan hidupnya, Dasein tercerabut dari realitas yang dijalaninya dan menghayatinya sebagai setiap momen yang urgen. Heidegger mengibaratkan proses ini layaknya kehadiran alat bantu dalam kehidupan kita, semisal telepon genggam. Kita memanfaatkan teknologi ini secara rutin tanpa menyadari lagi hakikatnya. Kita baru akan memikirkan kembali arti dan hakikat telepon genggam ini setelah ia tak bisa berfungsi lagi.

Pandangan ini relevan dengan fungsi dan hakikat kesenian, dalam konteks ini seni musik, bagi kehidupan kita. Musik, sebagaimana lazimnya wahana seni lain, adalah sebuah refleksi yang menyaratkan sikap mengambil jarak sekaligus penghayatan terhadap realitas. Sikap ini mutlak bagi sebuah laku refleksi, karena hanya dengan begitu ia bisa menggauli kehidupan dengan intens dan memandangnya dalam suatu konsepsi tertentu. Jika rutinitas menjadi banal dan membuat kita kering serta terasing, maka seni adalah perigi refleksi yang mengutuhkannya kembali.

Sisi refleksi ini sangat penting bagi status kesenian, terutama jika berhadapan dengan wahana diskursus lainnya. Karena bagaimanapun, kesenian bukanlah sebuah entitas diskursus kehidupan yang inferior di depan entitas-entitas lain seperti filsafat, agama, ilmu pengetahuan dan lainnya. Dengan memandang seperti ini kita bisa memahami mengapa para pelaku seni seperti sastrawan Rusia (alm) Solzhenitsyn, novelis Marquis de Sade, atau komposer Amadeus Mozart, berani menentang pandangan umum, bahkan mengambil risiko berhadapan dengan kekuasaan.

Jika sikap ideal bagi seorang musikus, dan pelaku seni lainnya, adalah refleksi, maka hal itu akan tercermin dalam karya-karyanya. Dan karena pada hakikatnya refleksi bersifat individual, maka yang tercermin dalam karya-karyanya adalah orisinalitas -bukan otentisitas- ide. Memang dalam praktiknya tidak ada musikus yang berangkat dari ruang kosong, ia selalu sudah terpengaruh oleh para pendahulunya. Tapi meski saling memengaruhi, setiap musikus yang baik akan selalu memiliki karakteristik khas yang membedakannya dengan musikus lain. Karakteristik ini merupakan buah yang muncul dari bibit intensitas refleksi. Permasalahannya, hal inilah yang saya lihat absen dalam industri musik kita.

Musik -terutama industri- adalah wahana kesenian yang secara konvensional memanfaatkan dua medium berbeda, yakni nada dan bahasa. Kedua bahan mentah ini dalam adonan sebuah lagu akan menghasilkan tema musik dan syair lagu. Seperti pernah saya bahas sebelumnya dalam Menyoal Syair dan Tema Lagu-lagu Indonesia, di luar pengecualian minoritas lagu yang dan tema yang saya sebut dalam tulisan tersebut, saat ini keduanya sudah jatuh pada titik yang mengkhawatirkan. Sebagaimana saya kemukakan dalam tulisan tersebut, grup musik Efek Rumah Kaca telah dengan tepat mengritiknya dalam lagu Cinta Melulu.

Jika mengikuti asumsi yang diuraikan di awal tulisan, banalnya syair dan tema lagu di Indonesia akibat efek instan industri pada saat ini membuatnya gagal menghadirkan cara pandang alternatif bagi penikmat musik, yang mestinya menjadi tugas bagi para musikus selaku pegiat seni. Dalam hal syair lagu, jangan heran jika para remaja yang menjadi konsumen terbesar musik industri membentuk dunianya dengan topik yang melulu cinta, itu pun dengan pandangan monolitik. Hal ini diakibatkan oleh alternatif perspektif syair lagu yang minim, yang terus-menerus mengulang kata-kata yang sama. Bandingkan kenyataan ini dalam dengan puisi Aku Ingin karya Sapardi Djoko Damono yang memandang cinta dengan cara yang mengejutkan; kata yang membuat api tak tega mengabukan kayu, kata yang membuat hujan enggan meniadakan awan.

Dalam hal tema lagu, -lagi-lagi akibat- minimnya alternatif membuat para konsumen tak bisa memahami cara pengungkapan lain. Kita mengenal The Doors dan Radiohead dengan bentuk musiknya yang gelap dan inheren dengan isi lagu yang ingin disampaikan. Dikatakan inheren, karena pilihan musik yang mereka usung adalah syarat mutlak bagi gagasan-gagasan ideologis mereka yang cenderung kritis. Secara sederhana dapat dikatakan sebagai contoh, kita tak mungkin membayangkan gagasan kritik dalam Fake Plastic Trees karya Radiohead dengan bentuk musik -sebagaimana dibahasakan Efek Rumah Kaca- mendayu-dayu seperti diusung grup musik Ungu.

Nah, dengan logika pasar musik kita yang berlaku saat ini, kita akan kesulitan untuk memahami bentuk-bentuk musik di luar konstrain mendayu-dayu yang totaliter. Maraknya kembali wahana indi dalam dunia musik kita barangkali bisa dilihat sebagai faktor akibat dari totalitarianisme pasar yang menjadi faktor sebab. Melihat kondisi ini saya takut impian kemajuan musik di Indonesia hanya akan menjadi harapan kosong.

Ciputat, 8 Desember 2008

(pernah dipublikasi di http://kacajendela.wordpress.com pada Desember 2008)

Related Posts by Categories



Widget by Hoctro | Jack Book

2 komentar:

  1. saya sepakat dengan pendapat tuan penulis: sekarang musik kita absen refleksi.

    saya harap dengan sangat, tuan penulis bikin kodifikasi, pergeseran musik kita dikaitkan dengan industri...trims

    salang kopi hangat

    BalasHapus