Riwayat Para Kawan Bicara


Sehabis kecelakaan pesawat yang mengerikan, Chuck Noland terdampar di pulau tanpa penghuni. Seperti manusia prasejarah, segala sesuatu dilakukan serba sulit. Ia menombak ikan-ikan di pantai saat perutnya mulai menyanyi keroncong. Digesek-gesekkan batu dan ranting demi menyalakan api. Saat istirahat ia masuk ke gua, berteduh dari cuaca. Namun yang barangkali paling berat buatnya justru kesepian. Makanya sebuah bola voli yang digambar wajah dengan darahnya dijadikan kawan bicara. Ini semata-mata demi pikirannya terhindar dari kesintingan yang bisa saja tahu-tahu menyergap. Cerita ini bisa ditonton di film terkenal, Cast Away.



Bayangkan seminggu saja teman-teman kita sibuk bersamaan. Mereka tak ada waktu buat melayani gatalnya mulut kita. Barangkali kita bakal melakukan ironi yang sama seperti Chuck Noland. Melakukan kesintingan, mengobrol dengan bola voli atau ember di kamar mandi, demi menjaga pikiran tetap waras. Boleh jadi ada orang yang kuat seminggu tak mengobrol dengan para kolega, paling kurang dengan binatang peliharaannya. Namun saya tak yakin kondisi kejiwaannya baik-baik saja.

Saya sendiri senang menghabiskan waktu buat mengobrol. Bergadang hanya demi membikin mulut capek sudah jadi kebiasaan. Ngobrol ngalor-ngidul dengan kawan-kawan. Kalau dipikir-pikir, sebetulnya tak banyak hal penting yang dibicarakan. Celakanya kami tiada kapok mengulangi hal yang sama. Saya tak pernah membayangkan seminggu. Sebab sehari saja tak mengobrol bikin pikiran was-was tanpa sebab-sebab yang bisa dipertanggungjawabkan.

Di antara banyak kawan bicara saya, beberapa nama mesti ditulis di sini dengan jelas. Mereka adalah:

Biadab orang ini! Dia tahu seluk-beluk sepakbola. Bahkan hal-hal yang barangkali tak diketahui pemain sepakbola sekalipun. Segala bacaan soal sepakbola habis dia lahap, seperti orang Sunda menghabisi dedaunan di meja makan. Ragam info transfer, analisis, strategi, pemain muda, dan sebagainya, dia pasti segera tahu lebih dulu. Prediksinya perihal pemenang pertandingan, juara liga, transfer siapa ke klub mana, jarang meleset. Yang belum dibuktikan cuma tebakan berapa lama pemain bakal cedera.

Orang-orang Italia menganggap sepakbola seperti ibadah. Seorang pendeta Katolik di Italia pernah harus memajukan jadwal misa lantaran bentrok dengan laga Piala Dunia. Kalau begitu macamnya, Mahfud ini orang yang sangat religius. Alim. Ada di urutan pertama orang-orang yang bakal masuk surga. Bagaimana tidak, dia habiskan periode akhir pekannya buat menyimak laga-laga sepakbola dari berbagai liga. Indonesia, Inggris, Italia, Spanyol, Perancis? Semua masuk dalam jadwalnya.

Dia mampu menyebut siapa saja yang terlibat, baik berjasa atau bersalah, dalam sebuah gol. Satu detik setelah kejadian. Sedang komentator teve saja harus menyimak siaran ulang. Saya curiga analisis Mahfud lebih bagus dari mayoritas komentator-komentator bola yang biasa nampang di teve. Kalau betul begitu, celakalah saya yang kerap menonton kesia-siaan di awal, pertengahan dan akhir laga.

Bukan main orangtuanya memberi nama “semesta” buat pria ini. Seolah-olah ia siap melahap pengetahuan seisi jagad. Dan memang demikian kenyataannya. Bana, demikian ia dipanggil, adalah tipikal ABG masa kini. Keren, gaul, rajin nongkrong. Tapi ia sama sekali jauh dari kedangkalan. Sebagai mahasiswa hubungan internasional, ia fasih menjelaskan gejala perubahan di berbagai belahan dunia belakangan ini. Mesir, Libia, Amerika, Yaman, dan seterusnya. Beres semua dia jelaskan. Plus tokoh mana yang berkomentar apa.

Beberapa bulan lalu Bana menjadi wartawan. Sekarang ia sudah fasih menggelontor teori-teori media di hadapan saya. Sembilan elemen jurnalisme, baik yang ditulis Andreas Harsono atau Bill Kovach-nya langsung, bisa dijelaskan sambil makan pecel. Sebagai bonus, ia tahu siapa dan di mana saja orang media yang jadi cecunguk para politikus. Perlu dicatat yang satu ini: Meski ada saja waktu-waktu dia bokek, sebagaimana umumnya mahasiswa. Tapi dia sumpah-serapahi amplop yang disodorkan politikus sehabis wawancara. Akhlaknya itulah, Masya Allah.

Bana kerap memberitahu tulisan orang-orang luar negeri yang kira-kira menarik buat saya. Tentu saja berbahasa Inggris. Saya yang kemampuan nginggris-nya masih taraf mualaf kadang curiga. Jangan-jangan demikianlah cara Bana diam-diam melecehkan saya. Semoga itu hanya akibat rasa iri saya. Allah wa Banahu a’lam.

NB:
Ketika saya menulis ini, mendadak ia bangun dari tidur. Sebuah iklan pada koran terbuka di sampingnya bermotto “Kenikmatan satukan kebersamaan”. Ia nyeletuk, “apa maksudnya? kebersamaan kok disatukan? Gak ngerti bahasa!” Ingat, dia baru bangun tidur!

Ia memang pernah bermain-main mengganti nama facebook-nya jadi Abi Setan Nugroho. Tapi keluasan pengetahuannya sama sekali bukan main-main. Koleksi bukunya bisa jadi indikasi. Sebuah mobil bak pernah keberatan sampai bergoyang-goyang dengan riskan ketika memindahkan buku dari kos ke rumahnya. Tapi jangan buru-buru mengira jumlahnya. Sebab pasca itu di kosnya masih banyak lemari yang dijejali buku di dalamnya. Dia mengumpulkan buku sebanyak itu benar-benar dari kantongnya. Catat itu, catat!

Abi bisa ngobrol berbagai hal serius. Mulai ideologi, budaya, politik, sejarah, bla-bla-bla, sampai pemanasan global. Pokoknya luas! Tokoh idolanya Tan Malaka. Saya khawatir di dunia ini selain Harry Poeze tak ada yang lebih paham pahlawan misterius ini ketimbang Abi. Seperti idolanya, Abi jujur, lurus, idealis. Barangkali kalau Abi ikut-ikutan berkelana ke berbagai negeri, riwayatnya bakal berakhir di ujung bedil juga seperti Tan.

Dulu, ketika mengetahui Abi tak pernah pacaran dan tak paham secuil pun soal sepakbola, saya girang bukan main. Rupanya masih ada celah mendebat dan membikin ia tak berkutik. Tapi -segala puji buat Allah yang juga Maha Iseng- belakangan Abi berubah. Berbulan lalu ia punya pacar yang suka sepakbola. Saat saya menulis ini, Abi mulai paham apa artinya offside. Ini bikin saya ketar-ketir. Kabar baiknya, ia telah lampaui Tan Malaka yang meninggal tanpa sempat merasakan pacaran.

Tak ada teman saya yang punya bakat menulis sealami orang asli Sunda ini. Simak blognya ini, ini dan ini. Anda bakal lekas mengerti maksud saya. Makanya para redaktur NU Online dengan senang mengangkatnya selaku reporter. Ia sanggup menulis kejadian-kejadian tak penting jadi cerita menarik. Lucu, jernih, wajar. Tulisannya perihal NU dan Gus Dur bikin Alissa Wahid, putri sulung Gus Dur, menangis haru.

Hal paling menarik perhatian Abah, demikian julukannya, adalah sastra. Pengarang favoritnya (alm) H. Mahbub Djunaidi. Tak heran kalau gaya tulisan Mahbub yang penuh humor dan jernih begitu memengaruhinya. Tapi di luar Mahbub, bacaan sastranya luas. Setahu saya ia punya novel berbahasa Indonesia (Melayu) bertahun 1901. Ia juga hafal karya-karya sastra penting Indonesia dari berbagai zaman. Pendeknya, ia paham kualitas karya sastra dan mampu menulis karya sastra berkualitas. Lengkap.

Abah agak rentan secara fisik. Saat nongkrong malam ia sering mengeluh kedinginan dan merasa hari sudah terlalu larut. Saya pernah mengajaknya bergadang semalaman. Esoknya berbagai wabah penyakit bersarang di tubuhnya seminggu penuh. Seolah mereka punya dendam kesumat terhadap Abah. Ia juga gampang diserang letih pasca beraktivitas. Futsal, ngobrol, membaca, atau jalan ke kos saya, bisa menguras staminanya. Kalau sudah begini, satu-satunya cara kembalikan kebugarannya adalah tidur semata. Tak peduli pagi, siang, sore atau malam. Repotnya, dalam sehari ia sanggup merasa letih berkali-kali.

Ngomong-ngomong, di judul tulisan ini saya pakai istilah “kawan bicara” juga karena Abah. Satu kali saya menyebutnya “lawan bicara”, ia menolak habis-habisan. “Saya kawan, bukan lawan,” katanya. Sejak itu saya insaf sepenuhnya dari memakai istilah “lawan bicara”.

Namanya kearab-araban. Status pendidikannya sarjana sastra Arab. Ia juga telah menyulih bahasa kitab legendaris berbahasa Arab, Alhikam. Tapi di luar itu keindonesiaannya bukan main. Ia tak setuju orang unjuk keagamaan lewat simbol. Gamis dan jenggot sama sekali tak menentukan keislaman pemakainya. Ia lebih senang menyebut “sembahyang” ketimbang “shalat”. “puasa” ketimbang “shaum”. Corak Islam yang keindonesiaan adalah hal paling indah buatnya.

Ada sisi misterius dari lelaki berdarah Betawi-Jawa ini. Tak ada yang tahu berapa banyak dan tema apa saja buku yang dikoleksi di rumahnya. Namun ia selalu nyambung saban saya dan teman-teman menyebut judul-judul buku dan membincang isinya. Soal tulisan, seperti Abah, tak ada penulis yang lebih disuka Hafiz ketimbang (alm.) H. Mahbub Djunaidi. Ada ratusan esai Mahbub di banyak media. Coba kutip setengah kalimat humor khas Mahbub di sembarang tulisan. Saya jamin ia mampu teruskan persis redaksi aslinya. Setiap mampir ke kos teman ia sempatkan waktu mengeja judul koleksi buku setempat satu-persatu. Tak jarang ia membawa barang sebiji atau dua buat dibaca atau difoto kopi. Tapi tak pernah secara diam-diam. Selalu dengan izin. Sumpah demi Allah, selalu!

Meski sering berkeliling, hidup Hafiz hanya berkisar antara ilmu dan agama. Ia kerap habiskan waktu sore sebagai guru mengaji di kampungnya. Saat malam sering ia bergentayang di Ciputat untuk berdiskusi. Sesekali ia ziarahi makam para ulama. Hal-hal lain jarang jadi aktivitasnya. Subhanallah cara Tuhan menjaga pikiran dan waktunya dari hal yang sia-sia. Saya kadang sampai bingung siapa yang harus dikagumi. Hafiz atau Tuhan?


Demikian profil beberapa kawan bicara saya. Nama-nama di atas tak saya susun berdasar prioritas, kualitas, intensitas, atau segala macamnya. Tentu tak semua saya catat di sini. Lain waktu semoga saya bisa ceritakan yang lain.


Melanggan artikel lewat email

Related Posts by Categories



Widget by Hoctro | Jack Book

3 komentar:

  1. akhirnya, yang saya takutkan itu datang juga. biadab ini tulisan!

    BalasHapus
  2. Ini gertakan luar biasa. Saudara demikian cepat mengomentari

    BalasHapus
  3. Semalam, saya disuruh mas bana baca tulisan ini. sekencang-kencangnya! bingung, tapi, dari raut muka mas bana, fix, dia terjebak nostalgia!

    BalasHapus