Lepas lebaran, tahunnya entah. Saya, remaja SMA ketika itu, tengah di perjalanan pulang dan tak menyangka hari itu akan penting.
Ban motor saya tahu-tahu bocor. Saya hampiri satu kios tambal ban puluhan meter di depan, sambil menuntun motor. Jika (maaf) stereotipe para penambal ban berasal Batak, saya yakin yang ini bukan. Logatnya tak bisa saya taksir. Bukan Jawa atau Sunda, tidak Betawi.
Di tengah upaya memreteli ban, dia mengajak saya bercakap, basa-basi. Saya menyambut meraba-raba topik, lalu berkomentar soal lebaran yang kian sepi, juga menyinggung istilah krismon (krisis moneter), KKN (kolusi, korupsi, nepotisme) dan reformasi, istilah paling populer di masyarakat saat itu. Saya tidak begitu paham, tapi tetap menyimpulkan, boleh jadi sepi Lebaran gara-gara tiga hal itu.
Hal umum jika Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sukar sepakat soal tanggal bulan Puasa dan hari Lebaran. Umumnya Muhammadiyah sehari lebih dulu ketimbang NU. Di kampung saya ini jadi bahan candaan para pemuda. Orang saling ejek; Puasa ikut NU, Lebaran ikut Muhammadiyah. Orang Betawi memang suka bercanda dan mengejek untuk bergurau. Mereka jarang menakar ejekan dengan moralitas dan sikap sentimentil. Santai saja, yang penting berbalas tawa.
Pada tahun itu kali pertama saya tahu NU dan Muhammadiyah seragam soal hari Lebaran. Entah kenapa hal ini pun saya komentari di depan si penambal ban. Lebaran memang bukan cuma sembahyang Id dan saling maaf. Lebaran juga kue-kue ringan, jamuan ketupat dan sayur, tebaran angpau, tentu juga pakaian baru. Ini butuh banyak biaya, membuat jeri banyak orang.
"Jangan-jangan saat hidup susah begini orang malas mikir penentuan hari lebaran? Jadi disamain aja." Kata saya sembari tertawa.
Si penambal ban tertawa. Jika kita melempar canda dan orang tertawa, kita merasa ada gagasan yang koheren. Makanya saya susul tertawa juga. Tapi tahu-tahu.
"Engga juga." Selanya.
"Maksudnya kebanyakan orang." Saya coba meralat.
"Ya engga juga, Mas."
"…"
Dia menjelaskan soal metode. Ya, NU dan Muhammadiyah punya metode berbeda buat menaksir tanggal Hijriyah. Mereka juga punya ukuran dan tanggung jawab untuk menghitung dengan sungguh. Perbedaan tanggal puasa dan lebaran memang tak sepele, tapi tak usah dijadikan pertentangan, apalagi saling menyalahkan.
Dia menjelaskan soal metode. Ya, NU dan Muhammadiyah punya metode berbeda buat menaksir tanggal Hijriyah. Mereka juga punya ukuran dan tanggung jawab untuk menghitung dengan sungguh. Perbedaan tanggal puasa dan lebaran memang tak sepele, tapi tak usah dijadikan pertentangan, apalagi saling menyalahkan.
"Yang salah yang engga puasa." Ujarnya sembari tertawa, seperti membaca pikiran saya. Ya, saya memang merasa obrolan itu mengarah serius. Candaan yang jadi serius memang bikin sulit beradaptasi.
Tapi si penambal ban tetap ngomong soal perbedaan dalam Islam. Ia contohkan ragam mazhab, macam tata sembahyang, juga beda corak tauhid. Ia menerangkan sambil menyugesti bahwa itu bukanlah kekeliruan yang mesti disesali. Masing-masing kita hanya perlu menjalankan yang kita yakini. Ia ajukan argumen-argumen simpel yang tak bisa saya debat. Saya memang tak punya argumentasi. Hmm, saya dulu dididik soal agama di rumah, sekolah dasar di madrasah, dan dua tahun nyantri. Tapi belum tahu jika perbedaan, apalagi soal agama, bisa dilihat begini, seperti ia melihatnya.
Saya hanya berdebar mendengar hal baru ini. Seperti berada di ambang takut dan penasaran. Sesekali saya mengangguk, tapi tak tahu harus setuju atau tidak. Ini berlangsung hingga persoalan ban selesai. Saya membayar dan pamit, tak bertanya namanya. Sampai di rumah pengalaman itu saya lupakan.
Beberapa tahun lewat saya kuliah di UIN Jakarta, bertemu teman-teman baru yang mendiskusikan perbedaan dengan jernih. Memosisikannya selaku fakta, bukan sumber sengketa. Saya jadi ingat penambal ban itu. Mungkin ia pernah seperti teman-teman saya, para pegandrung diskusi dan pelalap buku-buku. Bergaul dengan mereka saya jadi tahu pentingnya sikap keraguan yang intens dan pikiran terbuka demi mendiskusikan ide-ide yang "membahayakan" prinsip, mengevaluasi apa-apa yang teryakini sebelumnya. Hasilnya? Entah. Tapi setidaknya saya punya simpulan, bahwa pertengkaran demi meributkan perbedaan, apalagi sampai mengepal tinju dan melempar batu, adalah kebisingan yang mengganggu tidur siang.
Kata orang, keraguan yang intens awalnya akan mengguncang. Itu benar. Semua orang mengalami. Kita memang bisa menyamar dengan kerudung hiruk-pikuk, kawan, tapi ketika ditodong keraguan kita akan menghadapi sendiri, tanpa proteksi. Saya pun mengalaminya, membuat saya bertingkah laiknya mahasiswa filsafat semester awal.
Tapi obrolan singkat dengan Tuan penambal ban itu seperti menyiapkan mental dan menyiagakan kognisi saya untuk mengakui kompleksitas hidup dan mengakuisisi majemuknya kenyataan. Hal-hal ini kadang memang membuat kita tak menemukan pilihan dan jawaban. Namun menggugatnya sama saja mengutuk cermin di hadapan.
Gus Dur memang membuat saya yakin perbedaan itu penting diperjuangkan. Ia sering menunjukan sikap pembelaan yang radikal. Saya mengagumi itu dengan sungguh-sungguh. Tapi kecintaan saya akan hal-hal seperti itu hadir setelah sugesti Tuan penambal ban bersarang di kepala saya. Jika tidak, mungkin saya tetap geming dari sikap curiga terhadap muslim yang suka nongkrong bareng dengan pemeluk agama lain.
Saat ini, waktu mengingat lagi Tuan penambal ban, saya yakin ia lebih pintar, paling tidak dari saya dan beberapa teman saya. Kami belum bisa membuat orang seperti saya yang kala itu remaja SMA katrok, karena jarang membaca dan berdiskusi, memahami dan menghayati persoalan rumit seperti ini.
Kita, kaum muslim, boleh mengklaim tiap tempat suci sebagai masjid. Di mana kita hendak sembahyang, bahkan di gereja, tak bakal ada yang mengutuk. Tapi kita masih juga tak puas dan sibuk bergerombol demi mengutuki dan memaksa tempat ibadah bukan Islam mesti dilengkapi surat izin, padahal kita kerap mengendarai motor tanpa surat izin. Berapa kali kita harus menjadi teroris agar yakin bahwa hal-hal begini hanya menuju pada kesia-siaan?
Mengingat itu saya sungguh beruntung sempat bertemu Tuan penambal ban. Misalnya mereka, gerombolan pengutuk itu, sempat menemuimu, Tuan…
tukang tambal ban, gus dur dan perbedaan. riwayat menggugah, ditulis dengan dengan sederhana...
BalasHapusTerima kasih telah menghaluskan "jelek" dengan "sederhana"
BalasHapusmenarik percakapan yg ringan mengarah keserius. jujur saya jg "ngga nyangka" ada tukang ban ky gtu. emang tiap orang ngga bisa di duga. -wakhidworks.blogspot.com-
BalasHapus@Kholid: Untung buka permainan keras menjurus kasar :). Blogmu bagus, Lid. Kapan-kapan izinkan blog ini memublikasi karya-karya jepretmu.
BalasHapusTulisan yang sederhana tapi membuat kita berpikir ulang "Apakah kita mampu memaknai perbedaan?". Keren!
BalasHapusTerima kasih, Kisanak.
BalasHapussimpel, namun jeli dan teliti...
BalasHapusWah! Ini pasti KMRT Mustafid Ali Aswaja! Jadi malu saya.
BalasHapus