Ia, Haji T, bukanlah orang yang mukanya sering kita lihat di televisi dan koran, atau namanya disebut-sebut di pelbagai radio. Ia juga buka selebritas dunia maya di situs-situs sosial media seperti Facebook atau Twitter. Dugaan saya, ia malah tak mengerti dengan seluk beluk internet semacam ini.
Jika dilihat dari rutinitasnya, pagi hari ia kerap duduk di beranda rumahnya, memegang tasbih atau membaca koran. Sesekali ia mengelilingi beberapa gedung sekolah di belakang rumahnya. Saat siang atau sore, selepas menonton televisi ia sering duduk lagi di beranda depan, sambil kadang megingatkan bocah-bocah sekolah yang lewat agar tak berlari-lari, karena khawatir mereka jatuh. Aktivitas lainnya bisa berupa panggilan pengajian , tahlil dan kegiatan semacamnya.
Lelaki paruh baya ini pemimpin sebuah yayasan pendidikan bernama -sebut saja- BA, yang kali pertama dirintis ayahnya berbekal dana pribadi dan beberapa petak tanah yang sebagian hasil wakaf.
Menerima lungsuran yayasan ini dari ayahnya, Haji T mengembangkan sekolah yang tadinya hanya sampai madrasah ibtidaiyah, kini menjejak jenjang SMP. Dahulu, pendirian BA ini terinspirasi sebuah yayasan serupa di daerah sebelah. Niatnya pun luhur, membantu tugas yayasan inspiratornya dalam membantu pendidikan masyarakat pedesaan di sekitar yang sebagian besar miskin, sekaligus lembaga syiar Islam.
Hasilnya, BA jadi semacam semi cabang (tak resmi) bagi yayasan inspiratornya. Mungkin karena ketidakjelasan status ini, sebagian aset Yayasan BA pernah diakuisisi pihak lain tanpa kompensasi barang sepeser. Ketika saya sempat menyambangi daerah tersebut, seorang anak H. T menunjukkan pada saya aset yang terakuisisi tersebut; sebidang tanah seluas puluhan meter persegi dengan beberapa bangunan sekolah dan plang nama lembaga yang merupakan yayasan penginspirasi pendirian BA.
Awalnya saya hendak bertanya mengapa ia tidak memasalahkan hal ini. Namun saya ingat satu cerita tentang seorang mualaf yang selama sekian waktu pernah dibimbing agama oleh Haji T. Bertahun lalu mualaf ini meminjam uang yang jumlahnya saya lupa (antara puluhan hingga seratus juta), dan hingga kini kabar mualaf dan uang tersebut tak diketahuinya lagi. Menghadapi ini Haji T diam, seperti ia menghadapi akuisisi sepihak aset-aset BA. Sikap seperti ini kerap hanya bisa dimengerti mereka, orang-orang yang lahir dan dibesarkan di pedesaan.
Selama puluhan tahun terakhir banyak perkembangan terjadi dalam dunia pendidikan. Mulai gedung-gedung kian megah, fasilitas kian aduhai, materi pelajaran kian kompleks, hingga uang SPP kian meninggi. Selama itu pula BA tak banyak berubah. Saya menyaksikan sendiri beberapa gedung yang telah menua dan fasilitas seadanya yang menjadi modal yayasan ini. Namun tiap tahun puluhan murid baru masih saja berbondong-bondong mendaftar. Pasalnya, yayasan ini tergolong ramah terhadap kondisi ekonomi warga sekitar yang mayoritas berkantung tipis, degan mematok SPP yang murah. Hal ini masih ditambah program beasiswa bagi murid. Risikonya, sekolah kerap kali harus memaklumi dan memberi keringanan bagi orang tua murid yang belum mampu membayar SPP, meski harus berbulan-bulan. Hal yang patut dicatat kebijakan ini bukan karena adaptasi dengan keadaan, tapi merupakan misi awal berdirinya BA.
Bicara soal bantuan, bukan sekali dua Yayasan BA mendapat bantuan dana dengan dari pemerintah dengan berbagai label. Namun hal ini malah kerap membikin pusing Haji T. Masalahnya dana bantuan yang diturunkan tak sesuai dengan jumlah yang dijanjikan karena terlebih dulu dipotong sana-sini hingga bisa lebih dari 45%. Sementara Haji T dipaksa membuat laporan penggunaan dana sebesar jumlah aslinya, lengkap dengan bukti-bukti. Jika tidak mau ya sudah, banyak tuh, sekolah lain yang masih mau menerima.
Hampir dua tahun lalu seisi Yayasan BA dibuat khawatir ketika pada awal ajaran, murid baru yang medaftar hanya sekitar 14 orang. Hal ini dipicu oleh kebijakan Departemen Pendidikan yang mengadakan program sekolah gratis dengan memberi subsidi kepada sekolah-sekolah sesuai jumlah muridnya. Para orang tua murid yang mendambakan Yayasan BA karena murahnya biaya pendidikan di sana, "memarkir" anak-anak mereka yang hendak sekolah ke institusi pendidikan berstatus negeri
Anda tahu efek lain kebijakan ini? Di antaranya, sekolah-sekolah negeri menumpuk murid sebanyaknya agar dapat jatah subsidi lebih besar, sementara biaya lain di luar SPP yang harus dibayar murid mendadak bermunculan. Dan kini, pasca SBY terpilih lagi, entah kemana program tersebut.
Haji T tentu tidak sendirian. Di saat lembaga-lembaga sekolah berebut status elit, mematok biaya yang masya Allah mahalnya bagi para murid, saya yakin di negeri ini pasti masih ada orang-orang seperti Haji T yang mengelola sekolah swasta demi membantu pendidikan masyarakat sekitar dengan memungut SPP kecil, sekadar agar biaya operasional institusi dapat terpenuhi. Dan jika ada kekurangan biaya, ketua yayasan harus merogoh kocek pribadi, tak peduli seberapa besar.
Sementara di sana, di televisi, majalah, koran, radio, gedung Departemen Pendidikan, orang-orang sibuk membicarakan keperawanan murid, sekolah-sekolah internasional, debat tentang UN, Haji T dan orang-orang sejenisnya masih saja dibikin khawatir dengan pendidikan anak-anak tetangganya yang miskin.
Hasilnya, BA jadi semacam semi cabang (tak resmi) bagi yayasan inspiratornya. Mungkin karena ketidakjelasan status ini, sebagian aset Yayasan BA pernah diakuisisi pihak lain tanpa kompensasi barang sepeser. Ketika saya sempat menyambangi daerah tersebut, seorang anak H. T menunjukkan pada saya aset yang terakuisisi tersebut; sebidang tanah seluas puluhan meter persegi dengan beberapa bangunan sekolah dan plang nama lembaga yang merupakan yayasan penginspirasi pendirian BA.
Awalnya saya hendak bertanya mengapa ia tidak memasalahkan hal ini. Namun saya ingat satu cerita tentang seorang mualaf yang selama sekian waktu pernah dibimbing agama oleh Haji T. Bertahun lalu mualaf ini meminjam uang yang jumlahnya saya lupa (antara puluhan hingga seratus juta), dan hingga kini kabar mualaf dan uang tersebut tak diketahuinya lagi. Menghadapi ini Haji T diam, seperti ia menghadapi akuisisi sepihak aset-aset BA. Sikap seperti ini kerap hanya bisa dimengerti mereka, orang-orang yang lahir dan dibesarkan di pedesaan.
Selama puluhan tahun terakhir banyak perkembangan terjadi dalam dunia pendidikan. Mulai gedung-gedung kian megah, fasilitas kian aduhai, materi pelajaran kian kompleks, hingga uang SPP kian meninggi. Selama itu pula BA tak banyak berubah. Saya menyaksikan sendiri beberapa gedung yang telah menua dan fasilitas seadanya yang menjadi modal yayasan ini. Namun tiap tahun puluhan murid baru masih saja berbondong-bondong mendaftar. Pasalnya, yayasan ini tergolong ramah terhadap kondisi ekonomi warga sekitar yang mayoritas berkantung tipis, degan mematok SPP yang murah. Hal ini masih ditambah program beasiswa bagi murid. Risikonya, sekolah kerap kali harus memaklumi dan memberi keringanan bagi orang tua murid yang belum mampu membayar SPP, meski harus berbulan-bulan. Hal yang patut dicatat kebijakan ini bukan karena adaptasi dengan keadaan, tapi merupakan misi awal berdirinya BA.
Bicara soal bantuan, bukan sekali dua Yayasan BA mendapat bantuan dana dengan dari pemerintah dengan berbagai label. Namun hal ini malah kerap membikin pusing Haji T. Masalahnya dana bantuan yang diturunkan tak sesuai dengan jumlah yang dijanjikan karena terlebih dulu dipotong sana-sini hingga bisa lebih dari 45%. Sementara Haji T dipaksa membuat laporan penggunaan dana sebesar jumlah aslinya, lengkap dengan bukti-bukti. Jika tidak mau ya sudah, banyak tuh, sekolah lain yang masih mau menerima.
Hampir dua tahun lalu seisi Yayasan BA dibuat khawatir ketika pada awal ajaran, murid baru yang medaftar hanya sekitar 14 orang. Hal ini dipicu oleh kebijakan Departemen Pendidikan yang mengadakan program sekolah gratis dengan memberi subsidi kepada sekolah-sekolah sesuai jumlah muridnya. Para orang tua murid yang mendambakan Yayasan BA karena murahnya biaya pendidikan di sana, "memarkir" anak-anak mereka yang hendak sekolah ke institusi pendidikan berstatus negeri
Anda tahu efek lain kebijakan ini? Di antaranya, sekolah-sekolah negeri menumpuk murid sebanyaknya agar dapat jatah subsidi lebih besar, sementara biaya lain di luar SPP yang harus dibayar murid mendadak bermunculan. Dan kini, pasca SBY terpilih lagi, entah kemana program tersebut.
Haji T tentu tidak sendirian. Di saat lembaga-lembaga sekolah berebut status elit, mematok biaya yang masya Allah mahalnya bagi para murid, saya yakin di negeri ini pasti masih ada orang-orang seperti Haji T yang mengelola sekolah swasta demi membantu pendidikan masyarakat sekitar dengan memungut SPP kecil, sekadar agar biaya operasional institusi dapat terpenuhi. Dan jika ada kekurangan biaya, ketua yayasan harus merogoh kocek pribadi, tak peduli seberapa besar.
Sementara di sana, di televisi, majalah, koran, radio, gedung Departemen Pendidikan, orang-orang sibuk membicarakan keperawanan murid, sekolah-sekolah internasional, debat tentang UN, Haji T dan orang-orang sejenisnya masih saja dibikin khawatir dengan pendidikan anak-anak tetangganya yang miskin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar